KITAB MAFAHIM YAJIBU
AN TUSHOHHAH
PAHAM-PAHAM YANG HARUS
DILURUSKAN
Prof. DR. Al-'Alim
Al-'Allamah Al-Muhaddits As-Sayyid Muhammad Bin Alwi Bin Abbas Bin Abdul Aziz
Al-Maliki Al-Hasani
PAHAM-PAHAM YANG HARUS
DILURUSKAN
Terjemah Kitab Mafahim
Yajibu An Tushohhah
BAB I
Pembahasan Masalah
''AQIDAH''
''KESALAHAN PARAMETER
KEKUFURAN
DAN KESESATAN DI ZAMAN
SEKARANG''
LARANGAN MENJATUHKAN
VONIS KUFUR ( TAKFIR )
SECARA MEMBABI BUTA
Banyak orang keliru dalam memahami
substansi faktor-faktor yang membuat seseorang keluar dari Islam dan divonis
kafir. Anda akan menyaksikan mereka segera memvonis kafir seseorang hanya
karena ia memiliki pandangan berbeda. Vonis yang tergesa-gesa ini bisa membuat
jumlah penduduk muslim di dunia tinggal sedikit. Kami, karena husnuddzon,
berusaha memaklumi tindakan tersebut serta berfikir barangkali niat mereka
baik. Dorongan kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar mungkin
mendasari tindakan mereka. Sayangnya, mereka lupa bahwa kewajiban mempraktekkan
amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan tutur
kata yang baik (bi al-Hikmah wa al-Mau’idzoh al–Hasanah). Jika kondisi memaksa
untuk melakukan perdebatan maka hal ini harus dilakukan dengan metode yang
paling baik sebagaimana disebutkan dalam QS. an-Nahl:125:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
''Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik.''
Praktek amar ma’ruf nahi munkar dengan
cara yang baik ini perlu dikembangkan karena lebih efektif untuk menggapai
hasil yang diharapkan. Menggunakan cara yang negatif dalam melakukan amar ma’ruf
nahi munkar adalah tindakan yang salah dan tolol.
Jika Anda mengajak seorang muslim yang
sudah taat mengerjakan sholat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan
Allah, menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, menyebarkan dakwah, mendirikan
masjid, dan menegakkan syi’ar-syi’ar-Nya untuk melakukan sesuatu yang Anda
nilai benar sedangkan dia memiliki penilaian berbeda dan para ulama sendiri
sejak dulu berbeda pendapat dalam persoalan tersebut kemudian dia tidak
mengikuti ajakanmu lalu kamu menilainya kafir hanya karena berbeda pandangan
denganmu maka sungguh kamu telah melakukan kesalahan besar yang Allah melarang
kamu untuk melakukannya dan menyuruhmu untuk menggunakan cara yang bijak dan
tutur kata yang baik.
Al-'Allamah al-Imam as-Sayyid Ahmad
Masyhur bin Thoha al-Haddad mengatakan,
“Telah ada konsensus ulama untuk
melarang memvonis kufur ahlul qiblat (ummat Islam) kecuali akibat dari tindakan
yang mengandung unsur meniadakan eksistensi Allah, kemusyrikan yang nyata yang
tidak mungkin ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, prinsip-prinsip ajaran
agama Islam yang harus diketahui ummat Islam tanpa pandang bulu (ma ‘ulima min
ad-din bi adh-dharurat), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau
yang telah mendapat konsensus ulama dan wajib diketahui semua ummat Islam tanpa
pandang bulu.''
Ajaran-ajaran yang dikategorikan wajib
diketahui semua ummat Islam seperti masalah ke-Esaan Allah, kenabian,
diakhirinya kerasulan dengan Nabi Muhammad saw, kebangkitan di hari akhir,
hisab (perhitungan amal), balasan, surga dan neraka bisa mengakibatkan
kekafiran orang yang mengingkarinya dan tidak ada toleransi bagi siapapun umat
Islam yang tidak mengetahuinya kecuali orang yang baru masuk Islam maka ia
diberi toleransi sampai mempelajarinya kemudian sesudahnya tidak ada toleransi
lagi.
Mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan sekelompok perawi yang mustahil melakukan kebohongan kolektif dan
diperoleh dari sekelompok perawi yang sama. Kemutawatir bisa dipandang dari :
1. Aspek isnad seperti hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ, قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
"Barangsiapa berbohong atas namaku
maka carilah tempatnya di neraka"(HR. Muslim)
2. Aspek tingkatan
kelompok perawi.
Seperti kemutawatiran al-Qur’an yang
kemutawatirannya terjadi di muka bumi ini dari wilayah barat hingga timur dari
aspek kajian, pembacaan, dan penghafalan serta ditransfer dari kelompok perawi
satu kepada kelompok lain dari berbagai tingkatannya sehingga ia tidak
membutuhkan isnad.
Kemutawatiran ada juga yang
dikategorikan mutawatir dari aspek praktikal dan turun-temurun (tawuturu
‘amalin wa tawarutsin) seperti praktik atas sesuatu hal sejak zaman nabi sampai
sekarang, atau mutawatir dari aspek informasi (tawaturu ‘ilmin) seperti
kemutawatiran mu’jizat-mu’jizat. Karena mu’jizat-mu’jizat itu meskipun satu
persatunya malah sebagian ada yang dikategorikan hadits ahad namun benang merah
dari semua mu’jizat tersebut mutlak mutawatir dalam pengetahuan setiap muslim.
Memvonis kufur seorang muslim di luar
konteks di muka adalah tindakan fatal. Dalam sebuah hadits disebutkan :
إِذَا قَالَ الرجلُ لأَخِيه : يَا كَافِرُ
فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا
"Jika seorang laki-laki berkata
kepada saudara muslimnya; Hai kafir, maka vonis kufur telah jatuh pada salah
satu dari keduanya." ( HR.Bukhari)
Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan
kecuali oleh orang yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam
lingkaran kufur dan batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam
hukum syari’at Islam.
Tidak diperkenankan bagi siapapun
memasuki wilayah ini dan menjatuhkan vonis kufur berdasarkan prasangka dan
dugaan tanpa kehati-hatian, kepastian dan informasi akurat. Jika vonis kufur
dilakukan dengan sembarangan maka akan kacau dan mengakibatkan penduduk muslim
yang berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.
Demikian pula, tidak diperbolehkan
menjatuhkan vonis kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat sepanjang keimanan
dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara. Dalam sebuah hadits dari
Anas ra. Rasulullah saw. bersabda :
ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ :
الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ
وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ ، وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ
بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا
يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ
“Tiga hal merupakan pokok iman; menahan
diri dari orang yang menyatakan tiada Tuhan kecuali Allah, tidak memvonis kafir
akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa.
Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir umatku memerangi
Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan
orang yang adil dan meyakini kebenaran takdir”. (HR. Abu Daud)
Al-Imam al-Haramain pernah berkata:
“Jika ditanyakan kepadaku: Tolong
jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan kufur dan tidak”.
Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan pada
tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan
argumentasi mendalam dan proses rumit yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid.
Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal meraih
bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.
Berangkat dari paparan di muka kami
ingatkan untuk menjauhi pengkafiran secara membabi buta di luar poin-poin yang
telah dijelaskan di atas. Karena tindakan pengkafiran bisa berakibat sangat
fatal.
Hanya Allah swt. yang memberi petunjuk
ke jalan yang lurus dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali.
SIKAP SYAIKH MUHAMMAD
IBN ABDUL WAHHAB MENYANGKUT TAKFIR
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab
rahimahullah memiliki sikap mulia dalam hal pentakfiran. Sebuah sikap yang dipandang
aneh oleh mereka yang mengklaim sebagai pendukungnya kemudian memvonis kafir
secara serampangan terhadap siapapun yang berbeda jalan dan menolak pemikiran
mereka. Padahal Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab sendiri menolak semua
pandangan-pandangan tak berharga yang dialamatkan kepadanya. Dalam sebuah
risalah yang dikirimkannya kepada penduduk Qashim pada bahasan tentang aqidah
ia menulis sebagai berikut :
''Telah jelas bagi kalian bahwa telah
sampai kepadaku berita mengenai risalah Sulaiman ibn Suhaim yang telah sampai
kepada kalian dan bahwa sebagian ulama di daerah kalian menerima dan
membenarkan isi risalah tersebut. Allah mengetahui bahwa Sulaiman ibn Suhaim
mengada-ada atas nama saya ucapan-ucapan yang tidak pernah aku katakan dan
kebanyakan tidak terlintas sama sekali di hatiku.''
Di antaranya: Ucapan Sulaiman bahwa saya
menganggap sesat semua kitab madzhab empat. Bahwa manusia semenjak 600 tahun
yang silam tidak menganut agama yang benar.Saya mengklaim mampu berijtihad dan
lepas dari taqlid. Perbedaan para ulama adalah malapetaka dan saya mengkafirkan
orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, dan saya mengkafirkan
Imam al-Bushiri karena ucapannya: Wahai makhluk paling mulia.
Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah
Rasulullah saw. maka saya akan melakukannya dan jika mampu mengambil talang
Ka’bah yang terbuat dari emas maka saya akan menggantinya dengan talang kayu.
Saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi saw, mengingkari ziarah ke makam kedua
orang tua dan makam orang lain, saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan
selain Allah, mengkafirkan Ibnu Faridl dan Ibnu ‘Araby, dan bahwasanya saya
membakar kitab Dalailul Khairaat dan Raudhat ar-Rayahin yang kemudian saya
namakan Raudhat asy-Syayathin.
Jawaban saya atas tuduhan telah mengucapkan
perkataan-perkataan di atas adalah firman Allah: "Maha suci Engkau (ya
Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar." ( QS. an-Nur:16)
Sebelum apa yang saya alami terjadi,
peristiwa mirip pernah dialami Nabi saw. Beliau dituduh telah memaki Isa ibn
Maryam dan orang-orang shalih. Hati mereka yang melakukan perbuatan terkutuk
ini sama persis sebab menciptakan kebohongan dan ucapan palsu. Allah swt.
berfirman: "Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah
orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah." (Q.S. an-Nahl:105)
Kafir Qurays melontarkan tuduhan palsu
bahwa Nabi saw. mengatakan bahwa Malaikat, Isa dan ‘Uzair berada di neraka.
Lalu Allah menurunkan firmanNya :"Bahwasanya orang-orang yang telah ada
untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami. Mereka itu dijauhkan dari
neraka." (QS. al-Anbiya`:101)
RISALAH PENTING LAIN
KARYA SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB DALAM MASALAH PENTAKFIRAN
Risalah ini dikirimkan kepada
as-Suwaidi, seorang ulama Iraq. Sebelumnya as-Suwaidi mengirimkan buku dan
menanyakan mengenai apa yang diperbincangkan masyarakat. Kemudian Syaikh
Muhammad ibn Abdul Wahhab menjawab dalam risalahnya :
"Tersebarnya kebohongan adalah hal
yang membuat orang yang berakal merasa malu untuk menceritakannya apalagi untuk
membuat-buat hal-hal yang tidak ada faktanya. Sebagian dari apa yang kalian
katakan adalah bahwasanya saya mengkafirkan semua orang kecuali mereka yang
mengikutiku. Sungguh aneh, bagaimana mungkin kebohongan ini masuk ke akal orang
yang berakal? Dan bagaimana mungkin seorang muslim akan melontarkan ucapan
demikian?
Dan apa yang kalian katakan: Seandainya
saya mampu meruntuhkan kubah Nabi saw. niscaya saya akan merealisasikannya,
membakar dalailul khairaat jika mampu dan melarang bersholawat kepada Nabi
dengan ungkapan sholawat apapun. Perkataan-perkataan ini dikategorikan
kebohongan. Dalam hati seorang muslim tidak terbesit dalam hatinya sesuatu yang
lebih agung melebihi al-Qur’an.
Pada halaman 64 dari kitab yang sama
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab berkata:
"Apa yang kalian katakan bahwa saya
telah mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih,
mengkafirkan Bushoiri karena ungkapannya: Wahai makhluk paling mulia,
mengingkari diperkenankannya ziarah kubur Nabi saw, kuburan kedua orang tua dan
kuburan-kuburan orang lain serta mengkafirkan orang yang bersumpah menggunakan
nama selain Allah, maka jawaban saya atas semua tuduhan ini adalah Firman
Allah: "Maha suci Engkau (ya Tuhan kami ), ini adalah Dusta yang
besar." (QS. an-Nur:16)
MEMAKI ORANG ISLAM
ADALAH TINDAKAN FASIQ DAN MEMERANGINYA ADALAH TINDAKAN KUFUR
Ketahuilah bahwa membenci, memboikot dan
berseberangan dengan kaum muslimin adalah haram, memaki orang Islam adalah
tindakan fasiq dan memeranginya adalah tindakan kufur jika menilai tindakan tersebut
adalah halal.
Kisah mengenai Khalid ibn Walid bersama
pasukannya ketika menuju Bani Jadzimah untuk mengajak mereka masuk Islam cukup
digunakan untuk menolak pemahaman harfiah (literal) dari judul di atas. Saat
Khalid tiba di tempat mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid mengeluarkan
instruksi, “Peluklah agama Islam!”. “Kami adalah kaum muslimin.” Jawab mereka.
“Letakkan senjata kalian dan turunlah.” lanjut Khalid. “Tidak, demi Allah.
Karena setelah senjata diletakkan pasti ada pembunuhan. Kami tidak bisa
mempercayai kamu dan orang-orang yang bersama kamu.” jawab mereka kembali.
“Tidak ada perlindungan buat kalian kecuali jika kalian mau turun,” Kata
Khalid. Akhirnya sebagian kaum menuruti perintah Khalid dan sisanya tercerai
berai.
Dalam riwayat lain redaksinya sebagai
berikut: Ketika Khalid tiba bertemu mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid
bertanya, “Siapakah kalian? Apakah kaum muslimin atau kaum kafir?”. “Kami
adalah kaum muslimin yang menjalankan sholat, membenarkan Muhammad, membangun
masjid di tanah lapang kami dan mengumandangkan adzan di dalamnya.” Jawab
mereka. Dalam lafadz hadits, mereka tidak bisa mengucapkan Aslamna, akhirnya
mereka mengatakan Shoba’na Shoba’na. “Untuk apa senjata yang kalian bawa?,
tanya Khalid. “Ada permusuhan antara kami dan sebuah kaum Arab. Oleh karena itu
kami khawatir kalian adalah mereka hingga kami pun membawa senjata.” Jawab
mereka. “Letakkan senjata kalian!” Perintah Khalid. Mereka pun mengikuti
perintah Khalid untuk meletakkan senjata. “Menyerahlah kalian semua sebagai
tawanan!” Lanjut Khalid. Kemudian Khalid menyuruh sebagian dari kaum untuk
mengikat sebagian yang lain dan membagikan mereka kepada pasukannya.
Ketika tiba waktu pagi, juru bicara
Khalid berteriak : “Siapapun yang memiliki tawanan bunuhlah ia!”. Maka Banu
Sulaim membunuh tawanan mereka. Namun kaum Muhajirin dan Anshor menolak
perintah ini. Mereka malah melepaskan para tawanan. Ketika tindakan Khalid ini
sampai kepada Nabi saw., beliau berkata, “Ya Allah, saya tidak bertanggung
jawab atas tindakan Khalid.” Beliau mengulang ucapan ini dua kali.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa
Khalid mengira mereka mengatakan shoba’na shoba’na dengan angkuh dan menolak
tunduk kepada Islam. Hanya saja yang disesalkan Rasulullah saw. adalah
ketergesa-gesaan dan ketidakhati-hatiannya dalam menangani kasus ini sebelum
mengetahui terlebih dulu apa yang dimaksud dengan shoba’na shoba’na. Nabi saw.
sendiri pernah mengatakan: “Sebaik-baik hamba Allah adalah saudara kabilah
Qurays; Khalid ibn Walid, salah satu pedang Allah yang terhunus untuk
menghancurkan orang-orang kafir dan munafik”.
Persis seperti apa yang dialami Khalid
adalah peristiwa yang menimpa Usamah ibn Zaid kekasih dan putra kekasih
Rasulullah saw. berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abi Dzibyan.
Abi Dzibyan berkata, “Saya mendengar Usamah ibn Zaid berkata, “Rasulullah saw.
mengirim kami ke desa al-Huraqah. Kemudian kami menyerang mereka di waktu pagi
dan berhasil mengalahkan mereka. Saya dan seorang laki-laki Anshar mengejar
seorang laki-laki Bani Dzibyan.''
Ketika kami berdua telah mengepungnya
tiba-tiba ia berkata, “La Ilaha illallah”. Ucapan laki-laki ini membuat temanku
orang Anshar mengurungkan niat untuk membunuhnya namun saya menikamnya dan
diapun mati. Ketika kami tiba kembali di Madinah, Nabi saw. telah mendengar
informasi tentang tindakan pembunuhan yang saya lakukan. Beliau saw. pun
berkata, “Wahai Usamah! Mengapa engkau membunuhnya setelah dia mengatakan La
Ilaha illallah?”. “Dia hanya berpura-pura,” Jawabku. Nabi mengucapkan pertanyaannya
berulang-ulang sampai-sampai saya berharap baru masuk Islam pada hari tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa
Rasulullah saw. berkata kepada Usamah, “Mengapa tidak engkau robek saja hatinya
agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau berpura-pura?”. “Saya tidak akan
pernah lagi membunuh siapapun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah”. Kata Usamah.
Sayyidina Ali ra. pernah ditanya
mengenai kelompok-kelompok yang menentangnya, “Apakah mereka kafir?”. “Tidak,”
jawab Ali, “Mereka adalah orang-orang yang menjauhi kekufuran”. “Apakah mereka
kaum munafik?”. “Bukan, orang-orang munafik hanya sekelebat mengingat Allah
sedang mereka banyak mengingat Allah”. “Terus siapakah mereka?” Ali kembali
ditanya. “Mereka adalah kaum yang terkena fitnah yang mengakibatkan mereka buta
dan tuli”, jawab Ali.
MAJAZ ‘AQLI DAN
PENGGUNAANNYA
Tidak disangsikan lagi bahwa majaz ‘aqli
digunakan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Di antaranya pada ayat:
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ
زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
"Dan apabila dibacakan ayat-ayatNya
bertambahlah iman mereka (karenanya)". (QS. al-Anfal:2)
Penyandaran kalimat ziyadah ke kalimat
ayat adalah majaz ‘aqli. Karena ayat adalah penyebab bertambah sedang yang
menambah sesungguhnya adalah Allah swt.
يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيبًا
"Hari yang menjadikan anak-anak
beruban." (QS. al-Muzzammil:17)
Penyandaran kata ja’ala pada pada
al-Yaum adalah majaz ‘aqli. Karena al-Yaum adalah tempat mereka menjadi
beruban. Kejadian tersebut tercipta pada al-Yaum sedang yang menjadikan
sesungguhnya adalah Allah swt. "Dan jangan pula suwwa`, yaghuts, ya`uq dan
nasr.
وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلَا تَزِدِ
الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا
"Dan sesudahnya mereka menyesatkan
kebanyakan (manusia)." (QS. Nuh:23-24)
Penyandaran idhlal pada ashnam adalah
majaz ‘aqli karena ashnam adalah penyebab terjadinya idhlal sedang yang memberi
petunjuk dan yang menyesatkan hakikatnya Allah swt. semata. Firman Allah swt.
mengisahkan Fir’aun:
"Hai Haman, buatkanlah bagiku
sebuah bangunan yang tinggi." (QS. al-Mu`min:36)
Penyandaran al-Binaa kepada Haman adalah
majaz ‘aqli karena Haman hanya penyebab. Ia hanya pemberi perintah tidak
membangun sendiri. Yang membangun adalah para pekerja. Adapun keberadaaan majaz
‘aqli dalam hadits maka di dalamnya terdapat jumlah yang banyak yang diketahui
oleh orang yang mau mengkajinya.
Para ulama berkata: "Terlontarnya
penyandaran di atas dari orang yang mengesakan Allah swt. cukup menjadikannya
dikategorikan sebagai penyandaran majazi karena keyakinan yang benar adalah
bahwa Pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka adalah Allah semata.
Allah swt. adalah Pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka. Tidak ada
yang bisa memberikan pengaruh kecuali Allah swt. Orang hidup atau orang mati
tidak bisa memberi pengaruh apapun. Keyakinan semacam ini adalah tauhid yang
murni. Berbeda kalau memiliki keyakinan yang berlawanan. Maka ia bisa jatuh
dalam kemusyrikan.
URGENSI MENETAPKAN
KAITAN ( NISBAT ) DALAM MENETAPKAN BATASAN KUFUR DAN IMAN
Beberapa kelompok sesat hanya
menggunakan pendekatan tekstual tanpa melibatkan indikasi-indikasi dan
tujuan-tujuan serta tidak menggunakan titik temu yang bisa menghindari
kontradiksi antar dalil-dalil yang ada seperti kelompok yang berpendapat bahwa
al-Qur’an adalah makhluk dengan menggunakan argumentasi firman Allah swt.:
إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا
"Sesungguhnya Kami menjadikan
al-Quran dalam bahasa Arab." (QS. az-Zukhruf:3)
Kelompok Qadariyyah (free will) yang
menggunakan ayat:
فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
"Maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri." (QS. asy-Syura:30)
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Apa yang telah kamu
kerjakan." (QS. Yunus:23)
Kelompok Jabariyah yang berpegang teguh
dengan ayat:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
"Padahal Allahlah yang menciptakan
kamu dan apa yang kamu perbuat itu."(QS. ash-Shaffat:96)
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ
اللَّهَ رَمَى
"Dan bukan kamu yang melempar
ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar." (QS.
al-Anfaal:17)
Untuk menyingkap maksud dari firman
Allah swt. di muka bahwa sesungguhnya semua kelompok ummat Islam di luar
kelompok Qadariyyah meyakini bahwa semua tindakan para hamba adalah diciptakan
Allah swt. berdasarkan ayat:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُون dan ayat وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ
وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
Meskipun tindakan itu bisa dilekatkan
kepada hamba dengan menggunakan pendekatan lain yang disebut iktisab (bekerja)
seperti dalam firman Allah swt.:
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا
اكْتَسَبَتْ
"Ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya." (QS. al-Baqarah:286)
Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan
penyandaran kerja kepada hamba.
Keterkaitan qudrat dengan al-Maqdur
(obyek dari sifat qudrat) tidak harus melalui penciptaan semata karena qudrat
Allah pada masa 'azali berkaitan dengan alam sebelum Allah menciptakannya. Dan
qudrat Allah ketika menciptakan alam berkaitan dengan alam dalam corak
keterkaitan lain.
ESENSI MENISBATKAN
TINDAKAN KEPADA PARA HAMBA
Berangkat dari keterkaitan qudrat di
atas jelaslah bahwa keterkaitan qudrat tidak hanya dengan terjadinya al-maqdur
lewat sifat ini. Hubungan tindakan makhluk dengan mereka sendiri dengan cara
mengerjakan bukan penciptaan. Karena Allah swt. yang menciptakan, mentakdirkan
dan menghendakinya. Tidak perlu dipersoalkan bagaimana Allah swt. menghendaki
apa yang Dia larang, karena perintah berbeda dengan kehendak dengan bukti Allah
swt. menyuruh semua manusia untuk beriman namun Allah swt. tidak menghendaki
semuanya beriman. Hal ini berdasarkan firman Allah swt.:
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ
بِمُؤْمِنِينَ
"Dan sebahagian besar manusia tidak
akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya." (QS. Yusuf:103)
Penisbatan tindakan kepada makhluk masuk
kategori penisbatan musabbab (obyek yang terkena pengaruh sebab) kepada sabab
(penyebab) atau wasithah (perantara). Hal ini bukanlah sebuah kontradiksi
karena yang menjadi penyebab dari segala sebab adalah Pencipta washithah yang
menciptakan makna keperantaraan kepada washithah. Seandainya Allah swt. tidak
memberi makna keperantaraan terhadap segala sebab maka segala sebab itu tidak
layak menjadi washithah baik sebab yang tidak diberi akal oleh Allah swt.
seperti benda mati, cakrawala, hujan dan api atau sebab yang berakal seperti
malaikat, manusia, atau jin.
PERBEDAAN ARTI AKIBAT
PERBEDAAAN NISBAT LAFADH
Barangkali Anda berkata: Tidaklah
rasional menisbatkan satu tindakan kepada dua pelaku karena mustahil
berkumpulnya dua hal yang mampu memberikan pengaruh kepada satu obyek yang
terkena pengaruh. Kami jawab, “Benar pandangan kalian. Namun konteksnya jika
pelaku hanya memiliki satu pengertian dalam penggunaannya”. Tapi jika pelaku
memiliki dua pengertian maka kalimat tersebut ada kemungkinan digunakan untuk
salah satunya.
Kalau demikian tidak boleh kalimat itu
digunakan untuk kedua-duanya sebagaimana telah diketahui dalam penggunaan
kalimat yang memiliki lebih dari satu pengertian (musytarak/ambigu) atau
hakikat dan majaz sebagaimana ungkapan: Pemimpin membunuh si fulan dan
ungkapan: Si fulan dibunuh oleh algojo. Kata membunuh yang dinisbatkan kepada
pemimpin memiliki pengertian yang berbeda dengan kata yang sama yang
dinisbatkan kepada algojo. Maka ungkapan kita: Allah swt. adalah pelaku dengan
pengertian Dia adalah pencipta yang membuat sesuatu menjadi ada dan ungkapan
kita: Sesungguhnya makhluk adalah pelaku, artinya adalah bahwa makhluk adalah
obyek yang Allah ciptakan padanya kemampuan setelah menciptakan padanya
kehendak dan pengetahuan.
Berarti hubungan qudrat dengan iradat
serta gerakan dengan qudrat adalah hubungan kausalitas dan yang diciptakan
dengan yang menciptakan. Hubungan semacam ini berlaku jika obyeknya adalah
makhluk berakal. Namun jika tidak berakal ia termasuk kategori mengaitkan yang
disebabi atas yang menjadi penyebab.
Berarti sah-sah saja menyebut setiap hal
yang memiliki kaitan dengan qudrat sebagai fa’il (pelaku) bagaimanapun bentuk
kaitannya. Sebagaimana algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh dengan
memandang dari sudut masing-masing. Karena pembunuhan berkaitan dengan
keduanya. Meskipun pembunuhan dilihat dari dua sisi pandang berbeda namun
masing-masing algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh. Demikian pula dalam
hal menilai obyek-obyek dari qudrat dengan dua qudrat.
Dalil yang menunjukkan diperbolehkan
menisbatkan hal-hal di muka dan relevansinya adalah bahwa Allah swt. sendiri
kadang menisbatkan tindakan kepada para malaikat dan terkadang kepada yang lain
dan terkadang menisbatkannya kepada diriNya sendiri.
Allah swt. berfirman:
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ
الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ
"Katakanlah: "Malaikat maut
yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu." (QS.
as-Sajdah:11)
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ
مَوْتِهَا
"Allah memegang jiwa (seseorang)
ketika matinya." (QS. az-Zumar:42)
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ
"Maka terangkanlah kepadaku tentang
yang kamu tanam." (QS. al-Waqi`ah:63). Dengan dinisbatkan kepada mereka.
أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا ثُمَّ
شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا
"Sesungguhnya Kami benar-benar
telah mencurahkan air (dari langit). Kemudian Kami belah bumi dengan
sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu."
(QS.`Abasa:25-27)
فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا
فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا
"Lalu Kami mengutus ruh Kami
kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang
sempurna." (QS. Maryam:17)
فَنَفَخْنَا فِيهَا مِنْ رُوحِنَا
وَجَعَلْنَاهَا وَابْنَهَا آَيَةً لِلْعَالَمِينَ
"Lalu Kami tiupkan ke dalam
(tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan
Allah) yang besar bagi semesta alam." (QS. al-Anbiya`:91). Nafkh
(tiupan) disandarkan kepada Allah padahal yang meniup sesungguhnya adalah
Jibril as. Allah swt. berfirman:
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ
قُرْآَنَهُ
"Apabila Kami telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu."(QS. al-Qiyamah:18) padahal
pembaca al-Qur’an yang didengar bacaannya oleh Nabi Muhammad saw. adalah
Jibril.
Allah swt. berfirman:
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ
قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
"Maka (yang sebenarnya) bukan kamu
yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu
yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang
melempar." (QS. al-Anfal:17)
Allah meniadakan tindakan pembunuhan
dari mereka dan menetapkan tindakan itu kepada diriNya dan menafikan tindakan
pelemparan darinya lalu menyandarkannya kepada diriNya.
Maksud dari ayat bukan berarti menafikan
fakta kasat mata tindakan mereka membunuh orang-orang kafir dan menafikan
tindakan Nabi melempari mereka dengan kerikil. Namun maksudnya adalah bahwa
mereka tidak membunuh dan melempar dalam pengertian sebagaimana Allah membunuh
dan melempar yaitu penciptaan dan kepastian. Sebab kedua pengertian ini adalah
dua makna yang memiliki arti berbeda.
Kadangkala Allah swt. menisbatkan
tindakan kepada diriNya dan Nabi Muhammad saw. secara bersamaan sebagaimana
firman Allah swt.:
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آَتَاهُمُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ
فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ
"Jikalau mereka sungguh-sungguh
ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata:
"Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karuniaNya
dan demikian (pula) RasulNya, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang
berharap kepada Allah" (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi
mereka)." (QS. at-Taubah:59)
Sayyidah ‘Aisyah rha. meriwayatkan bahwa
Allah swt. jika berkehendak menciptakan janin maka Allah swt. mengutus
malaikat. Lalu malaikat memasuki rahim dan memungut sperma dengan tangannya
kemudian membentuknya sebagai jasad. Malaikat bertanya, “Wahai Tuhanku,
laki-laki atau perempuan jenis kelamin janin ini dan apakah ia normal atau cacat
?”. Lalu Allah menetapkan janin sesuai dengan kehendakNya dan malaikat pun
membentuknya. Dalam versi lain: Malaikat membentuk janin dan meniupkan nyawa
padanya sebagai janin yang mendapat bahagia atau celaka.
Jika Anda memahami keterangan di atas
maka jelaslah bagi Anda bahwa tindakan digunakan dalam arti beragam dan tidak
kontradiktif. Karena itu tindakan adakalanya disandarkan kepada benda mati
seperti dalam firman Allah swt.:
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ
رَبِّهَا
"Pohon itu memberikan buahnya pada
setiap musim dengan seizin Tuhannya."(QS. Ibrahim:25) padahal pohon tidak
bisa memberikan buah dengan sendirinya.
Sebagaimana halnya sabda Nabi saw.
kepada orang yang memberikan beliau sebuah kurma:
خذها لو لم تأتها لأتتك
"Ambillah kurma itu. Jika engkau
tidak mendatanginya maka kurma itu akan datang kepadamu " (HR.
Thabrani dan Ibnu Hibban).
Penyandaran kata ityan (datang) berbeda
pengertian antara yang disandarkan kepada seorang laki-laki dan kurma. Maksud
dari datangnya kurma berbeda dengan datangnya laki-laki.
Pengertian datang dari keduanya adalah
dua majaz yang berbeda sudut pandangnya. Kemajazan penyebutan kedatangan kepada
laki-laki bermakna bahwa Allah menciptakan padanya kemampuan dan kehendak untuk
datang pada kurma. Sedang kedatangan kurma bermakna bahwa Allah swt. akan
membuat seseorang sebagai penyebab datangnya kurma.
Yang sesungguhnya adalah menyandarkan
mendatangkan kepada Allah pada keduanya. Karena perbedaan sudut pandang dalam
perantara maka memandang perantara dalam tindakan terkadang bisa mengakibatkan
kekufuran sebagaimana jawaban Qarun terhadap Nabi Musa as. Qarun berkata:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ
عِنْدِي
"Sesungguhnya aku hanya diberi
harta itu, karena ilmu yang ada padaku. "(QS. al-Qashash:78)
Dan sebagaimana dalam hadits :
أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى
وَكَافِرٌ ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ
فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا
بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
"Sebagian hamba-Ku, di pagi hari
ada yang beriman kepadaKu dan kafir”. Adapun yang berkata: "Kami disirami
hujan berkat anugerah dan rahmat Allah maka ia beriman kepadaKu dan kufur
kepada bintang". Sebaliknya orang yang berkata: "Kami disirami hujan
berkat bintang ini atau itu maka ia kafir kepadaKu dan beriman kepada
bintang".
Kekufuran ini terjadi karena memandang
perantara sebagai yang memberikan pengaruh dan yang menciptakan. Imam an-Nawawi
berkata: pendapat para ulama terbelah menjadi dua menyangkut kekufuran orang
yang mengatakan: "Kami disirami hujan berkat bintang ini."
Pendapat pertama: menyatakan bahwa
perkataan ini adalah kekufuran kepada Allah swt. dan mencabut dasar keimanan
serta dapat mengeluarkan dari agama Islam. Dalam pandangan ulama kekufuran bisa
terjadi atas mereka yang mengatakan perkataan tersebut seraya meyakini bahwa
bintang adalah pelaku, pengatur dan pencipta hujan sebagaimana anggapan
sebagian kaum jahiliyyah. Siapapun yang memiliki keyakinan semacam ini maka
tidak disangsikan lagi telah kafir. Ini adalah pandangan mayoritas ulama di
antaranya Imam asy-Syafi’i dan sesuai dengan makna literal dalam hadits. Karena
itu, dalam pandangan mereka seandainya mengatakan: "Kami disirami hujan
berkat bintang ini." dengan tetap meyakini bahwa hujan itu dari dan berkat
rahmat Allah swt. sedang bintang cuma dianggap sebagai waktu dan ciri
berdasarkan kebiasaan maka seolah-olah ia mengatakan: "Kami disirami hujan
pada waktu bintang ini", berarti ia tidak kufur. Para ulama berbeda pendapat
menyangkut kemakruhan perkataan: "Kami disirami hujan berkat bintang
ini". Namun kemakruhan ini sebatas makruh tanzih yang tidak berimplikasi
dosa. Penyebab kemakruhan adalah karena kalimat ini berada dalam posisi kufur
dan tidak, yang bisa berdampak sangkaan buruk bagi pengucapnya. Dan juga ia
adalah lambang jahiliyyah dan mereka yang meniru cara hidup jahiliyyah.
Pendapat kedua: Pada dasarnya penafsiran
hadits Nabi saw. menyatakan bahwa kufur terhadap nikmat Allah swt. sebab
membatasi terjadinya hujan terhadap bintang. Kufur nikmat ini berlaku bagi
orang yang tidak meyakini peranan bintang. Penafsiran ini didukung oleh riwayat
terakhir pada bab ini, "Sebagian orang, di pagi hari ada yang bersyukur
dan ada yang kufur". Dalam riwayat lain, Allah tidak menurunkan berkah
dari langit kecuali sebagian manusia mengkufuri terhadap berkah itu. Kata biha
(terhadap berkah itu) menunjukkan kekufuran yang terjadi adalah kufur nikmat.
Wallahu a’lam.
Anda bisa melihat bahwa Imam an-Nawawi
menyatakan adanya konsensus ulama bahwa siapapun yang menisbatkan tindakan
kepada perantara tidak berdampak kufur kecuali disertai keyakinan bahwa
perantara itu yang bertindak sebagai pelaku, pengatur dan pencipta. Namun jika
perantara tidak dilihat demikian namun hanya menganggap perantara adalah ciri
atau tempat terjadinya penciptaan yang telah ditakdirkan maka vonis kufur tidak
jatuh. Syara’ malah kadang mengajak untuk memandang perantara sebagaimana sabda
Nabi saw.:
من أسدى إليكم معروفا فكافئوه فان لم
تستطيعوا فادعوا له حتى تعلموا أنكم قد كافأتموه
"Siapapun yang memberi kebaikan
kepada Anda maka balaslah ia. Jika Anda tidak mampu membalasnya maka doakanlah
ia sampai kalian menyadari telah membalas kebaikannya."
Dan sabda Nabi yang lain:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ
يَشْكُرِ اللَّهَ
"Siapa yang tidak bersyukur kepada
manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah."
Ajakan syara’ ini berdasarkan
pertimbangan bahwa memandang perantara dari sudut pandang demikian tidak
berarti meniadakan anugerah dari Allah swt. Banyak ayat di mana Allah swt.
memberikan pujian atas perbuatan baik para hambaNya dan malah memberi mereka
pahala atas perbuatan tersebut. Allah swt. adalah Dzat yuang mendorong mereka
berbuat baik dan menciptakan kemampuan mereka untuk mengerjakannya. Allah swt.
berfirman:
نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
"Dia adalah sebaik-baik hamba.
Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS. Shaad:30)
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى
وَزِيَادَةٌ
"Bagi orang-orang yang berbuat
baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya." (QS. Yunus:26)
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
"Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu" (Q.S. asy-Syams:9)
Jika telah jelas di mata Anda bahwa
tindakan (al-fi’lu) dapat digunakan dalam beragam makna maka makna-makna
tersebut tidaklah berbenturan jika dipahami dengan jernih. Makna-makna yang
terkandung dalam ungkapan lebih luas dari ungkapan itu sendiri dan hati lebih
luas dari buku-buku yang dikarang. Jika kita terpaku pada lafadz dalam arti
hakiki tanpa memandang majaz maka kita tidak akan mampu mengkompromikan antara
teks-teks atau membedakannya. Silahkan Anda perhatikan informasi yang
disampaikan Allah swt. tentang Nabi Ibrahim as. dalam:
رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا
مِنَ النَّاسِ
Apakah Anda menilai Nabi Ibrahim as. menyekutukan
Allah swt. dengan benda mati? Padahal beliaulah yang bertanya:
أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Kompromi terhadap dua ayat ini adalah
bahwa siapapun yang menyekutukan Allah swt. dengan yang lain dalam segi penciptaan
dan memberikan pengaruh maka ia telah musyrik baik obyek lain itu benda mati
atau manusia, baik Nabi atau bukan. Dan barangsiapa yang meyakini adanya
penyebab dalam hal di atas baik penyebab itu berlaku secara umum atau tidak
kemudian menjadikan Allah swt. sebagai penyebab atas terjadinya musabbab dan
bahwa pelakunya (al-fa’il) adalah Allah semata tidak ada yang menyukutui maka
ia adalah seorang mukmin meskipun salah dalam menilai apa yang bukan sebab
dianggap sebagai sebab. Karena kesalahannya terletak pada sebab bukan pada yang
menciptakan sebab yang notabene adalah Sang Pencipta dan Pengatur swt.
MENGAGUNGKAN ANTARA
IBADAH DAN ETIKA
Banyak orang keliru dalam memahami
substansi pengagungan dan ibadah. Mereka mencampur kedua substansi ini dan
menganggap bahwa apapun bentuk pengagungan berarti ibadah kepada yang
diagungkan. Berdiri, mencium tangan, mengagungkan Nabi saw. dengan kata
Sayyidina dan Maulana, dan berdiri di depan beliau saat berziarah dengan sopan
santun; semua ini tindakan berlebihan di mata mereka yang bisa mengarah kepada
penyembahan selain Allah swt.
Pandangan ini sesungguhnya adalah
pandangan bodoh dan membingungkan yang tidak diridloi Allah swt. dan Rasulullah
saw. serta menyusahkan diri sendiri yang tidak sesuai dengan spirit Syari’at
Islamiyyah. Nabi Adam as. manusia pertama dan hamba Allah swt. yang shalih yang
pertama dari jenis manusia, oleh Allah malaikat diperintahkan untuk bersujud
kepadanya sebagai bentuk penghargaan dan pengagungan atas ilmu pengetahuan yang
diberikan Allah swt. kepada Nabi Adam as. dan sebagai proklamasi kepada para
malaikat atas dipilihnya Nabi Adam as. bukan para makhluk lain.
Allah swt. berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا
لِآَدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ قَالَ أَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا
قَالَ أَرَأَيْتَكَ هَذَا الَّذِي كَرَّمْتَ عَلَيَّ لَئِنْ أَخَّرْتَنِ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَأَحْتَنِكَنَّ ذُرِّيَّتَهُ إِلَّا قَلِيلًا
"Dan (ingatlah), tatkala Kami
berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu
mereka sujud kecuali Iblis. Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada
orang yang Engkau ciptakan dari tanah?" Dia (iblis) berkata:
"Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku?
Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya
benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian
kecil" (QS. al-Isra':61-62)
Dalam ayat lain Allah swt. berfirman:
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
"Menjawab iblis: "Saya lebih
baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari
tanah." (QS. al-A`raf:12)
فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ
أَجْمَعُونَ إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى أَنْ يَكُونَ مَعَ السَّاجِدِينَ
"Maka bersujudlah para malaikat itu
semuanya bersama-sama, kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sama (malaikat)
yang sujud itu." (QS. al-Hijr:30-31)
Para malaikat mengagungkan makhluk yang
diagungkan Allah swt. dan iblis menolak untuk sujud kepada makhluk yang
tercipta dari tanah. Iblis adalah yang pertama kali menggunakan analogi dengan
akalnya dan berkata: "Saya lebih baik dari Adam", dengan alasan
karena ia tercipta dari api sedang Adam dari tanah. Ia enggan menghormati Adam
dan menolak bersujud kepadanya.
Iblis adalah makhluk angkuh pertama dan menolak
mengagungkan makhluk yang diagungkan Allah swt. akhirnya ia dijauhkan dari
rahmat Allah swt. karena keangkuhannya pada Adam yang shalih. Sikap iblis pada
dasarnya adalah keangkuhan kepada Allah swt. karena sujud kepada Adam
semata-mata atas perintah Allah swt. Sujud kepada Adam hanyalah sebagai bentuk
penghormatan kepadanya atas para malaikat. Iblis adalah makhluk yang mengesakan
Allah swt. namun ketauhidannya tidak berguna sama sekali akibat menolak
bersujud kepada Adam.
Salah satu firman Allah swt. yang
menjelaskan pengagungan terhadap orang-orang sholih adalah firman Allah swt.
menyangkut Nabi Yusuf as.:
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ
وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا
"Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya
ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud.
" (QS. Yusuf:100)
Sujud ini adalah sujud sebagai ungkapan
penghargaan dan pemuliaan terhadap Yusuf atas saudara-saudaranya.
Sujud menyentuh tanah yang dilakukan
saudara-saudara Yusuf ditunjukkan oleh kalimat " وَخَرُّوا"
barangkali dalam syari’at saudara-saudara Yusuf sujud dalam bentuk seperti ini
diperbolehkan atau seperti sujud para malaikat kepada Adam untuk memuliakan,
mengagungkan, dan mematuhi perintah Allah swt. sebagai penafsiran terhadap
mimpi Yusuf di mana mimpi para Nabi berstatus wahyu.
Adapun Nabi Muhammad saw. maka Allah
swt. telah berfirman: "Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi,
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,9. Supaya kamu sekalian beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan
bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang."
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ
بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ
لَا تَشْعُرُونَ إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ
أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ
وَأَجْرٌ عَظِيمٌ إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ
أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu
melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang
keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain,
supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.
Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah
orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka
ampunan dan pahala yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu
dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti." (QS.
al-Hujurat:1-4)
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ
بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ
يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
" Janganlah kamu jadikan panggilan
Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang
lain). Sesungguhnya Allah swt. telah mengetahui orang-orang yang
berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih. (QS. an-Nur:63)
Ketika berhadapan dengan Rasulullah saw.
Allah swt. melarang berbicara mendahului beliau dan bersikap tidak sopan dengan
mendahului berbicara. Sahl ibn Abdillah berkata, "Janganlah kamu berkata
sebelum Rasulullah saw. berkata, dan jika beliau berkata maka dengarkanlah dan
perhatikanlah." Para sahabat dilarang untuk mendahului dan tergesa-gesa
memenuhi keinginannya sebelum keinginan Rasulullah saw. terpenuhi dan dilarang
mengeluarkan fatwa apapun baik perang atau urusan lain yang menyangkut agama
tanpa perintah Nabi saw. dan juga tidak boleh mendahului beliau.
Kemudian Allah swt. memperingatkan
mereka untuk tidak melanggar larangan di atas :
وَاتَّقُواْ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS.
al-Hujurat:1)
Berkata as-Silmi: "Takutlah kepada
Allah, jangan sampai menelantarkan hak Allah dan menyia-nyiakan hal-hal yang
diharamkanNya karena Dia mendengar ucapan kalian dan mengetahui tindakan
kalian."
Selanjutnya Allah melarang mengeraskan suara
melebihi suara beliau dan berbicara keras kepada beliau sebagaimana mereka
berbicara kepada sesamanya. Versi lain mengatakan, sebagaimana kalian saling
memanggil dengan menggunakan nama.
Abu Muhammad Makki mengatakan:
"Janganlah kalian berkata sebelum beliau, mengeraskan ucapan dan memanggi
beliau dengan namanya sebagaimana panggilan kalian dengan sesamanya." Tapi
agungkanlah dan hormatilah dan panggillah beliau dengan panggilan paling mulia
yang beliau senang dengan panggilan tersebut yaitu wahai Rasulullah dan wahai
Nabiyyallah. Pandangan Abu Muhammad Makki ini sebagaimana firman Allah swt. QS.
an-Nur:63 di atas.
Ulama lain menafsirkan: "Jangan
berkata kepada beliau kecuali bertanya. Selanjutnya Allah swt. memperingatkan
bahwa amal perbuatan mereka akan hangus jika melanggar larangan di muka. Ayat
di atas turun dilatarbelakangi oleh peristiwa ketika sekelompok orang datang
kepada Nabi saw. dan memanggil beliau dengan: "Wahai Muhammad, keluarlah
untuk menemui kami". Lalu Allah swt. pun mengecam tindakan mereka sebagai
kebodohan dan menggambarkan bahwa kebanyakan mereka tidak berakal.
Amr ibn Ash berkata: "Tidak ada
orang yang lebih kucintai melebihi Rasulullah saw. dan di mataku tidak ada yang
lebih agung melebihi beliau. Saya tidak mampu memandang beliau dengan mata
terbuka lebar semata-mata karena menghormatinya. Jika saya ditanya untuk
mensifati beliau saya tidak akan mampu menjawab sebab saya tidak mampu
memandang beliau dengan mata terbuka lebar. (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman,
bab Kaun al-Islam Yahdimu ma Qablahu).
Turmudzi meriwayatkan dari Anas bahwa
Rasulullah saw. keluar menemui sahabat Muhajirin dan Anshor yang sedang duduk.
Di antara mereka terdapat Abu Bakar dan Umar. Tidak ada yang berani memandang
beliau dengan wajah terangkat kecuali Abu Bakar dan Umar. Keduanya memandang
beliau dan beliau memandang keduanya dan mereka berdua tersenyum kepada beliau
dan beliau juga tersenyum kepada mereka.
Usamah ibn Syuraik meriwayatkan :
"Saya datang kepada Nabi saw. yang dikelilingi para sahabat yang seolah-olah
di atas kepala mereka dihinggapi burung".
Dalam mensifati beliau : "Jika
berbicara para pendengar yang duduk di sekeliling beliau akan menundukkan
kepala seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung."
Saat Urwah ibn Mas’ud menjadi duta Qurays
waktu mengadakan perjanjian datang kepada Rasulullah saw. dan melihat
penghormatan para sahabat kepada beliau saw. Ia melihat jika beliau saw.
berwudhu maka mereka akan segera berebutan mengambil air wudlu. Bila beliau
saw. meludah atau membuang dahak maka mereka akan meraihnya dengan telapak
tangan mereka lalu digosokkan pada wajah dan badan mereka. Kalau ada sehelai
rambut beliau saw. yang jatuh mereka segera mengambilnya. Jika beliau saw.
memberi instruksi mereka segera mengerjakanya. Bila beliau saw. berbicara
mereka merendahkan suara mereka. Mereka tidak berani memandang tajam beliau
saw., karena menghormatinya.
Ketika Usamah bin Syuraik kembali kepada
kaum quraisy ia berkata: “Wahai orang-orang Quraisy saya pernah mendatangi
Kisra dan kaisar di istana mereka, Demi Allah saya belum pernah sekalipun
melihat raja bersama kaumnya sebagaimana Muhammad bersama para
sahabatnya".
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Saya belum pernah sekalipun melihat raja yang dihormati pengikutnya
sebagaimana para sahabat menghormati Nabi saw.. Sungguh saya telah melihat kaum
yang tidak akan membiarkan beliau saw. dalam bahaya selamanya".
Ath-Thabrani dan Ibnu Hibban dalam kitab
shahihnya meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik bahwasanya ia berkata; “Kami
sedang duduk-duduk di samping Nabi saw. seolah-seolah di atas kepala kami
hinggap burung “.
Tidak ada seorangpun di antara kami yang
berbicara tiba-tiba datang beberapa orang pada Nabi saw. lalu mereka bertanya;
“ Siapakah hamba Allah yang paling dicintainya? “Yang paling baik budi
pekertinya “Jawab Nabi saw.. Demikian tercantum dalam at-Targhib:2/187. Imam
al-Mundziri berkata: Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam ash-Shahih
dengan para perawi yang bisa dijadikan argumentasi.
Abu Ya’la meriwayatkan dari al-Barra’
ibn ‘Azib dan menilainya shahih bahwa al-Barra’ mengatakan: “Sungguh aku ingin
sekali menanyakan sesuatu kepada Rasulullah saw. namun aku menundanya selama
dua tahun semata-mata karena segan”.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari az-Zuhri
bahwa ia berkata: “Mengkhabarkan kepada saya seorang Anshor yang tidak saya
ragukan bahwa Rasulullah saw. jika berwudhu atau mengeluarkan dahak maka para
sahabat berebutan mengambil dahak beliau kemudian diusapkan pada wajah dan
kulit mereka. “Mengapa kalian berbuat demikian,? Tanya Rasulullah saw.? “Kami
mencari berkah darinya.” “Barangsiapa yang ingin dicintai Allah swt. dan
RasulNya maka berkatalah jujur, menyampaikan amanah dan tidak menyakiti
tetangganya.” Demikian keterangan dalam al-Kanzu:8228.
Walhasil, dalam hal ini ada dua persoalan
besar yang harus dimengerti. Pertama; kewajiban menghargai Nabi saw. dan
meninggikan derajat beliau di atas semua makhluk. Kedua; mengesakan Tuhan dan
menyakini bahwa Allah swt. berbeda dari semua makhlukNya dalam aspek dzat,
sifat dan tindakan.
Barang siapa yang meyakini adanya
kesamaan makhluk dengan Allah swt. dalam aspek ini maka ia telah menyekutukan
Allah swt. sebagaimana kaum musyrikin yang meyakini ketuhanan dan penyembahan
terhadap berhala. Dan siapapun yang merendahkan Nabi saw. dari kedudukan
semestinya maka ia berdosa atau kafir.
Adapun orang menghormati Nabi saw.
dengan beragam penghormatan yang berlebihan namun tidak mensifati beliau dengan
sifat-sifat Allah swt. apapun maka ia telah berada di jalan yang benar dan
secara bersamaan telah menjaga aspek ketuhanan dan kerasulan. Sikap semacam ini
adalah sikap yang ideal. Apabila ditemukan dalam ucapan kaum mukminin
penyandaran sesuatu kepada selain Allah maka wajib dipahami sebagai majaz
‘aqli. Tidak ada alasan untuk mengkafirkannya karena majaz ‘aqli digunakan
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
PERANTARA SYIRIK
Banyak orang keliru dalam memahami
esensi perantara (wasithah). Mereka memvonis dengan gegabah bahwa perantara
adalah tindakan musyrik dan menganggap bahwa siapapun yang menggunakan perantara
dengan cara apapun telah menyekutukan Allah swt. dan sikapnya sama dengan sikap
orang-orang musyrik yang mengatakan:
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا
إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
"Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya." (QS. az-Zumar:3)
Kesimpulan ini jelas salah dan
berargumentasi dengan ayat di atas adalah bukan pada tempatnya. Karena ayat
tersebut jelas menunjukkan pengingkaran terhadap orang musyrik menyangkut
penyembahan mereka terhadap berhala dan menjadikannya sebagai tuhan selain
Allah swt. serta menjadikan berhala sebagai sekutu dalam ketuhanan dengan
anggapan bahwa penyembahan mereka terhadap berhala mendekatkan mereka kepada
Allah swt.
Jadi, kekufuran dan kemusyrikan kaum
mussyrikin adalah dari aspek penyembahan mereka terhadap berhala dan dari aspek
keyakinan mereka bahwa berhala adalah tuhan-tuhan di luar Allah swt.
Di sini ada masalah yang urgen untuk
dijelaskan, yaitu bahwa ayat di atas menyatakan bahwa kaum musyrikin, sesuai
yang digambarkan Allah swt., tidak meyakini dengan serius ucapan mereka yang
membenarkan penyembahan berhala: (Kami tidak menyembah mereka kecuali
semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah). Jika ucapan kaum musyrikin
tersebut sungguh-sungguh niscaya Allah swt. lebih agung daripada berhala dan
mereka tidak akan menyembah selainNya.
Allah telah melarang kaum muslimin untuk
memaki berhala-berhala kaum musyrikin, lewat firmanNya:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ
دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا
لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ
بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan." (QS. al-An`am:108)
Abdurrazaq, Abd ibn Hamid, Ibn Jarir,
Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Abu asy-Syaikh meriwayatkan dari Qatadah
bahwa Rasulullah saw. Berkata: “Awalnya Kaum muslimin memaki berhala-berhala
orang kafir. Akhirnya mereka memaki Allah. Lalu turunlah ayat 108 surat
al-An'am di atas. Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang turunnya ayat
tersebut. Berarti ayat tersebut melarang dengan keras kaum mu’minin untuk
melontarkan kalimat yang bernada merendahkan terhadap batu-batu yang disembah
oleh kaum paganis di Makkah.
Karena melontarkan kalimat seperti itu
mengakibatkan kemurkaan kaum paganis karena membela bebatuan yang mereka yakini
dari lubuk hati paling dalam sebagai tuhan yang memberi manfaat dan menolak
bahaya. Jika mereka emosi maka akan balik memaki Tuhan kaum muslimin, Allah
swt. dan melecehkanNya dengan berbagai kekurangan padahal Dia bebas dari segala
kekurangan. Jika mereka meyakini dengan sebenarnya bahwa penyembahan kepada
berhala sekedar untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. niscaya mereka tidak
akan berani memaki Allah swt. untuk membalas orang yang memaki tuhan-tuhan
mereka.
Fakta ini menunjukkan dengan jelas bahwa
keberadaaan Allah swt. dalam hati mereka jauh lebih sedikit dari pada
keberadaaan bebatuan yang disembah. Ayat lain yang menunjukkan ketidakjujuran
orang kafir adalah
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ
أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
"Dan Sesungguhnya jika kamu
tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?"
Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji
bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS.
Luqman:25)
Bila orang-orang kafir meyakini dengan
jujur bahwa hanya Allah swt. Sang Pencipta dan bahwa berhala-berhala itu tidak
mampu menciptakan apa-apa niscaya mereka akan menyembah Allah swt. semata,
tidak menyembah berhala atau minimal penghormatan mereka terhadap Allah swt.
melebihi penghormatan kepada patung-patung dari batu tersebut. Apakah jawaban mereka
dalam ayat ini relevan dengan makian mereka terhadap Allah swt. sebagai bentuk
pembelaan terhadap berhala-berhala mereka dan pelampiasan dendam terhadap Allah
swt? Secara spontan kita akan menjawab sampai kapanpun hal ini tidak relevan.
Ayat di atas bukanlah satu-satunya ayat yang menunjukkan bahwa di mata mereka
Allah swt. lebih rendah dari patung-patung yang mereka sembah.
Banyak ayat senada seperti :
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ
الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا
لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا
كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
"Dan mereka memperuntukkan bagi
Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu
mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini
untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi
berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan
bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah
ketetapan mereka itu." (QS. al-An`am:136)
Seandainya di mata mereka Allah swt.
tidak lebih rendah dibanding patung-patung tersebut maka mereka tidak akan
mengunggulkannya dalam bentuk seperti yang diceritakan ayat ini dan tidak layak
mendapat vonis " سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ " .
Salah satu ungkapan yang masuk kategori di atas adalah perkataan Abu Sufyan
sebelum masuk Islam, “Mulialah engkau wahai Hubal!” sebagaimana riwayat
al-Bukhari. Pujian ini dialamatkan kepada berhala mereka yang bernama Hubal
agar dalam kondisi kritis mampu mengatasi Allah Tuhan langit dan bumi serta
agar ia dan pasukannya mampu mengalahkan tentara mukmin yang hendak
menghancurkan berhala-berhala mereka. Ini adalah gambaran dari sikap orang
musyrik menyangkut berhala dan Allah swt.
Pengertian bahwa penghormatan bukan
berarti penyembahan terhadap obyek yang dihormati harus dipahami dengan baik
karena banyak orang tidak memahaminya dengan benar lalu membangun persepsi-persepsi
yang sesuai dengan pemahamannya.
Apakah tidak engkau perhatikan ketika
Allah swt. menyuruh kaum muslimin menghadap Ka’bah saat shalat, mereka
menyembah menghadapnya dan menjadikannya sebagai kiblat? Tetapi Ka’bah bukanlah
obyek penyembahan. Mencium Hajar Aswad adalah penghambaan kepada Allah swt. dan
mengikuti Nabi saw. Seandainya ada kaum muslimin yang berniat menyembah Ka’bah
dan Hajar Aswad niscaya mereka menjadi musyrik sebagaimana para penyembah
berhala. Perantara (mediator/ wasithah) adalah sesuatu yang harus ada.
Eksistensinya bukanlah sebagai bentuk
kemusyrikan. Tidak semua orang yang menggunakan mediator antara dirinya dan
Allah swt. dipandang musyrik. Jika semua dianggap musyrik niscaya semua orang
dikategorikan musyrik karena segala urusan mereka didasarkan atas eksistensi
mediator. Nabi Muhammad saw. menerima al-Qur’an via Jibril dan Jibril adalah
mediator beliau.
Sedang Nabi saw. adalah mediator besar
bagi para sahabat. Ketika mengalami problem yang berat mereka datang dan
mengadukannya kepada beliau dan menjadikannya sebagai mediator menuju Allah
swt. Mereka memohon doa kepada beliau dan beliau tidak menjawab, “Kalian telah
musyrik dan kafir karena tidak boleh mengadu dan memohon kepada saya. Kalian
harus datang, berdoa dan memohon sendiri karena Allah lebih dekat dengan kalian
dari pada saya”. Nabi saw. tidak pernah berkata demikian. Beliau malah berdiam
dan dan memohon pada saat di mana mereka mengatahui bahwa Pemberi Sejati adalah
Allah swt. dan yang mencegah, melimpahkan dan pemberi rizqi juga Allah swt.
Mereka juga tahu bahwa beliau saw. memberi atas izin dan karunia Allah swt.
Beliaulah yang mengatakan, ”Saya adalah
pembagi dan Allah adalah pemberi”. Berangkat dari pengertian bahwa penghormatan
bukan berarti penyembahan terhadap obyek yang dihormati ini maka jelas
diperbolehkan menetapkan manusia biasa manapun bahwa ia telah mengatasi
kesulitan dan mencukupi kebutuhan dengan pengertian bahwa ia adalah mediator
dalam pemenuhan kebutuhan tersebut.
Kalau manusia biasa bisa berperan seperti
ini maka bagaimana dengan Nabi Muhammad saw. yang notabene junjungan mulia,
Nabi Agung, makhluk termulia dunia akhirat , junjungan jin dan manusia serta
makhluk Allah swt. paling utama secara mutlak? Bukankah beliau pernah bersabda:
"Barangsiapa membantu mengatasi satu dari banyak kesulitan seorang mu’min
di dunia, maka Allah akan melepaskannya kesusahan pada hari kiamat." (HR.
Bukhari dan Muslim).
Maka orang mu’min adalah orang yang
mengatasi segala kesulitan.
Bukankah beliau juga bersabda:
"Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya maka saya akan berdiri di dekat
timbangan amalnya. Jika timbangan amal baik itu lebih berat maka akubiarkan,
jika tidak maka aku akan memberinya syafaat? Maka orang mu’min adalah orang
yang mencukupi segala kebutuhan."
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ
لهُ
"Barangsiapa menutupi aib seorang
muslim maka Allah akan menutupi aibnya."
"Sesungguhnya
Allah memiliki para makhluk yang didatangi banyak orang untuk memenuhi
kebutuhan mereka."
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ
الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
"Allah senantiasa membantu
hamba-Nya sepanjang ia membantu saudaranya."
مَنْ أَغَاثَ مَلْهُوفًا كَتَبَ اللَّهُ
لَهُ ثَلاَثَةً وَسَبْعِينَ حَسَنَةً
"Siapapun yang menolong orang
teraniaya maka Allah akan menulis baginya 73 kebaikan." (HR. Abu
Ya’la, al-Bazzar dan al-Baihaqi)
Dalam konteks ini orang mu’min adalah
yang mengatasi, membantu, menolong, menutupi dan yang menjadi tempat pengaduan
meskipun sesungguhnya pelaku sejatinya adalah Allah swt. Namun berhubung ia
adalah mediator dalam menangani masalah-masalah tersebut maka sah menisbatkan
tindakan-tindakan tersebut kepadanya.
Dalam koleksi hadits-hadits Rasulullah
saw. terdapat banyak hadits yang menjelaskan bahwa Allah swt. menghindarkan
siksaan dari penduduk bumi berkat orang-orang yang beristighfar dan mereka yang
rajin menghidupkan masjid dan Dia juga memberi rizqi, menolong dan menjauhkan
musibah dan tenggelam dari penduduk bumi berkat mereka. Ath-Thabrani dalam
al-Kabir dan al-Baihaqi dalam as-Sunan meriwayatkan dari Mani’ ad-Dailami ra.
bahwa ia berkata : Rasulullah saw. bersabda: “Jikalau tiada para hamba Allah
yang sholat, para bayi yang menyusui dan binatang yang merumput niscaya adzab
akan diturunkan dan orang-orang yang terkena adzab itu akan dihancurkan”.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’d ibn
Abi Waqqash ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا
بِضُعَفَائِكُمْ ؟
”Bukankah kalian mendapat kemenangan dan
rizki hanya karena orang-orang lemah kalian”.
At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits
yang dikategorikan shahih oleh al-Hakim dari Anas ra. bahwa Nabi saw. bersabda:
لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
”Barangkali kamu mendapat rizqi berkat
saudaramu”.
Dari Abdullah ibn Umar ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda: ”Sesungguhnya Allah memiliki para makhluk yang Dia
ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Orang-orang datang kepada mereka
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Mereka dalah orang-orang yang aman dari
adzab Allah”.(HR. Thabrani dalam al-Kabiir, Abu Nu’aim dan al-Qudlo’i dengan
status Hasan)
Dari Abdillah ibn Umar ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda : ”Sesungguhnya Allah swt, sebab keshalihan seorang
laki-laki muslim akan membuat anak, cucu, warga desanya dan desa-desa
sekitarnya menjadi shalih dan mereka senantiasa berada dalam lindungan Allah
sepanjang laki-laki shalih itu tinggal bersama mereka”.
Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dalam
tafsirnya:2341 dan an-Nasa’i dalam al-Mawa’idz dari as-Sunan al-Kubra
sebagaimana keterangan dalam at-Tuhfah:13/380. Para perawi hadits ini sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan Shahih al-Bukhari dan al-Muslim selain guru
an-Nasa’i yang dikategorikan tsiqah dan wa fihi kalamun.
Dari Ibnu ‘Umar ra. berkata: Rasulullah
saw. bersabda: ”Sesungguhnya Allah menghindarkan bala’ berkat seorang laki-laki
shalih, seratus keluarga dari tetangganya,”.
Lalu Ibn ‘Umar mengutip firman Allah
swt.: "Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian umat manusia
dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai
karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam." (HR. Thabrani).
Dari Tsauban seraya memarfu’kan hadits
berkata: ”Di tengah kalian senantiasa ada 7 orang wali di mana berkat mereka
kalian diberi pertolongan, hujan dan rizki sampai tiba hari kiamat”.
Dari ‘Ubadah ibn Shamit ra. berkata:
Rasulullah saw. bersabda:
الأبدال فى أمتى ثلاثون بهم تقوم الأرض
وبهم يُمطرون وبهم يُنصرون
”Wali badal (Abdaal) dalam ummatku ada
30. Berkat mereka kalian diberi hujan dan mendapat pertolongan”.
Qatadah berkata:
إِنِّي لأَرْجُو أَنْ يَكُونَ الْحَسَنِ
مِنْهُمْ
”Sungguh saya berharap Hasan al-Bashri
termasuk mereka”. (HR. Thabrani).
Empat hadits di atas disebutkan oleh
al-Hafidz Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat: "Seandainya Allah tidak
menolak (keganasan) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti
rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas
semesta alam." (QS. al-Baqarah:251). Ayat ini layak dijadikan argumen dan
dari keempatnya status hadits menjadi shahih.
Dari Anas ra. berkata: Rasulullah saw.
bersabda: ”Bumi tidak akan sepi dari 40 laki-laki seperti Khalilurrahman
Ibrahim as. Berkat mereka kalian disirami hujan dan diberi pertolongan. Jika
salah seorang meninggal maka Allah akan menggantinya dengan orang lain.” (HR.
Thabrani dalam al-Ausath dan isnad-isnad hadits ini hasan. Majma’
az-Zawaid:2/62)
MEDIATOR PALING AGUNG
Dalam hari mahsyar yang notabene hari
tauhid, hari iman dan hari di mana ‘Arsy dimunculkan, akan tampak keutamaan
mediator paling agung, pemilik panji (al-Liwa’ al-Ma’qud), kedudukan terpuji,
telaga yang didatangi, pemberi syafaat yang diterima syafaatnya dan tidak
sia-sia jaminannya untuk orang yang Allah swt. telah berjanji kepada beliau
bahwa Allah swt. tidak akan mengecewakan anggapan beliau, tidak akan menghina
beliau selamanya, tidak membuat beliau susah serta malu saat para makhluk
datang kepada beliau memohon syafaat. Lalu beliau berdiri kemudian tidak
kembali kecuali mendapat baju kebaikan dan mahkota kemuliaan yang tergambar
dalam perintah Allah swt. kepada beliau:
يَا مُحَمَّدُ ، ارْفَعْ رَأْسَكَ وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ وَسَلْ تُعْطَ
“Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu,
berilah syafaat maka syafaatmu akan diterima dan mohonlah maka kamu akan diberi
”.
BAJU KEPALSUAN
Mereka yang mengklaim memahami substansi
permasalahan dan kekanak-kanakkan banyak jumlahnya. Namun sesungguhnya mereka
tidak tahu apa-apa dan tidak layak dianggap memahaminya.
Semua mengaku punya hubungan kasih
dengan Laila Tapi Laila menampik pengakuan mereka. Fakta menyedihkan ini
ditambah lagi dengan sikap mereka yang mencoreng diri sendiri dan merusak
reputasi. Sikap mereka tepat dengan apa yang digambarkan secara detail dalam
sebuah hadits:
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلَابِسِ ثَوْبِي زُورٍ
"Orang yang berpura-pura kenyang
dengan sesuatu yang tidak bisa membuat kenyang laksana orang yang mengenakan
dua baju kebohongan".
Kita, umat Islam mendapat cobaan dengan
banyaknya orang-orang seperti di atas. Mereka mengeruhkan kedamaian umat,
memecah belah antar kelompok dan menbangkitkan konflik antar sesama saudara dan
anak dengan ayahnya. Mereka berusaha meluruskan persepsi-persepsi Islam lewat
pintu pendurhakaan terhadap ulama, dan berpegang teguh dengan ajaran-ajaran
salaf dengan jalan pengingkaran, dan mengganti kebajikan, tutur kata yang baik
dan belas kasih dengan sikap keras, membatu, etika yang buruk dan minimnya
simpati.
Di antara para pengklaim adalah mereka
yang menganggap mengikuti jalan tasawwuf padahal mereka adalah orang yang
paling jauh dari substansi dan essensi tasawwuf. Mereka menodai tasawwuf,
mengotori kemuliaannya, merusak ajarannya dan melontarkan kritik pedas terhadap
tasawwuf dan para imamnya dari para ahli ma’rifat dan para guru pembimbing.
Kami tidak mengenal tahayyul, kebatilan, kebohongan dan tipuan dalam tasawwuf.
Kami juga tidak mengenal teori-teori
filsafat, ide-ide luar atau aqidah-aqidah musyrik baik sinkretisme atau
manunggaling kawula gusti. Kami lepas tangan kepada Allah swt. dari
muatan-muatan sesat tasawwuf dan mengkategorikan semua pandangan yang
berlawanan dengan al-Kitab dan as-Sunnah dan tidak bisa dita’wil adalah
kebohongan yang menyusup dan ditambahkan oleh tangan-tangan jahil dan jiwa-jiwa
yang lemah.
Dengan perilaku yang baik dan budi
pekerti yang bersih tampaklah kepahlawanan generasi awal, para tokoh, para imam
dan para pahlawannya. Dan tampak di hadapan kita sosok Islam yang paling
cemerlang, sempurna, dan contoh paling luhur dan suci. Sejarah telah
menginformasikan kepada kita cerita kemuliaan, kebanggaan, kehormatan,
keagungan, jihad, perjuangan, dan pelajaran-pelajaran tentang peradaban Islam.
Berangkat dari fakta di muka kami
meyakini bahwa kebangkitan-kebangkitan besar tidak akan terbangun kecuali di
atas risalah-risalah spiritual dan inspirasi-inspirasi iman dan tidak akan
berdiri kecuali di atas etika-etika luhur yang kokoh yang model-modelnya digali
dari akidah-akidah suci.
Sesungguhnya sifat-sifat etik,
psikologis dan spiritual adalah modal dasar bangsa. Ketiga faktor ini adalah
aset-aset besar yang membentuk umat dan mengantarkan umat manusia menuju
cita-cita luhur. Orang yang mengkaji sejarah hidup generasi salaf shalih dan
tokoh-tokoh sufi di tengah masyarakat, akan melihat bagaimana contoh-contoh
ideal dan prinsip-prinsip ini bisa menjadi faktor langsung terjadinya
revolusi-revolusi yang nyata, tercatat dan populer dalam sejarah Islam.
Mereka tidak memiliki pengaruh dan
kekuatan kecuali iman dalam tatarannya yang paling tinggi. Iman yang panas,
berkobar-kobar, dan hidup yang berlandaskan kerinduan dan kecintaan kepada
Allah swt. Sebuah keimanan yang mampu menyalakan api yang menyala-nyala dan menatap
selamanya kepada Allah swt. dalam hati para pengikutnya.
Orang yang mengkaji juga akan melihat
bagaimana di tengah mereka seorang laki-laki bisa hidup dalam maqam al-Ihsan
(kondisi di mana seseorang merasakan kehadiran Allah swt.), ia melihat Allah swt.
dalam segala sesuatu, dan merasa takut kepadaNya dalam segala aktivitasnya. Ia
senantiasa merasa takut kepada Allah swt. dalam setiap tarikan nafasnya tanpa
meyakini adanya penitisan, bersatunya Tuhan dengannya, dan peniadaan eksistensi
Tuhan. Iman ini adalah iman yang membangunkan kesadaran holistik dalam
kehidupan, menyentak rasa yang dalam akan ketuhanan yang berjalan dalam alam
semesta, dan yang hidup dalam sudut-sudut paling dasar dari alam semesta, yang
mengetahui apa-apa yang terlintas di hati, bisikan-bisikan rahasia, mata yang
mencuri pandang dan apa yang disembunyikan dalam hati.
ANTARA SEBAIK-BAIK
BID’AH DAN SEBURUK-BURUKNYA
Di antara mereka yang mengklaim memahami
substansi permasalahan adalah orang-orang yang menilai diri mereka sebagai salaf
shalih. Mereka bangkit mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara biadab dan
tolol, fanatisme buta, akal-akal yang kosong, pemahaman-pemahaman yang dangkal
dan tidak toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan menolak setiap
kreativitas yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah dan semua
bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya padahal spirit syariah Islam
mengharuskan kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan mengatakan bahwa:
"Sebagian bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang buruk".
Klasifikasi ini adalah tuntutan akal
yang cemerlang dan pandangan yang dalam. Klasifikasi bid’ah ini adalah hasil
kajian mendalam para sarjana ushul fiqh dari generasi klasik kaum muslimin
seperti al-Imam al-‘Izz ibn Abdissalam, an-Nawawi, as-Suyuthi, al-Mahalli dan
Ibnu Hajar. Hadits-hadits Nabi itu saling menafsirkan dan saling melengkapi.
Maka diharuskan menilainya dengan penilaian yang utuh dan komprehensif serta
harus menafsirkannya dengan menggunakan spirit dan persepsi syariah dan yang telah
mendapat legitimasi dari para pakar.
Karena itu kita menemukan banyak hadits
mulia dalam penafsirannya membutuhkan akal yang jernih, fikiran yang dalam,
pemahaman yang relevan, dan emosi yang sensitif yang digali dari samudera
syariah, yang bisa memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat, dan mampu
menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kaidah
syari’at dan teks-teks al-Qur’an dan hadits yang mengikat. Salah satu contoh
dari hadits-hadits di muka adalah hadits:
كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Setiap bid’ah itu sesat."
Bid’ah dalam hadits ini harus
ditafsirkan sebagai bid’ah sayyi’ah (bid’ah tercela) yang tidak termasuk dalam
naungan dalil syar’i.
Penafsiran semacam ini terjadi pula
dalam hadits lain seperti:
لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ
"Tidak ada sholatnya seseorang yang
tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di masjid."
Hadits ini meskipun menunjukkan
pengkhususan akan tidak sahnya sholat tetangga masjid kecuali di masjid namun
keumuman-keumuman hadits memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak
sempurna bukan tidak sah, di samping masih adanya perbedaan dalam kalangan
ulama.
Seperti hadits:
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ
"Tidak ada sholat di hadapan
makanan".
Para ulama menafsirkan bahwa sholat tersebut
tidak sempurna.
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Tidak beriman salah satu dari
kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk
dirinya."
واللهِ لا يُؤْمِن والله لا يؤمن والله لا يؤمن قيل: مَن يا رسول الله؟
قال:مَنْ لَمْ يَأْمَنْ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
"Demi Allah, tidak beriman, demi
Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan kepada beliau,
“Siapakah wahai Rasulullah”. “Seseorang yang tetangganya merasa terganggu
dengannya”.
Para ulama menafsirkan dengan tidak
adanya iman yang sempurna.
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ....., لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ
رَحِمٍ وعاق لوالديه
"Tidak akan masuk sorga orang yang
suka mengadu domba…….tidak akan masuk sorga orang yang memutus hubungan kerabat
dan yang durhaka kepada kedua orang tuanya."
Para ulama menegaskan bahwa yang
dimaksud tidak akan masuk surga ialah tidak akan masuk pertama kali atau tidak
masuk surga jika menilai perbuatan tercela tersebut halal dilakukan. Walhasil,
para ulama tidak memahami hadits di atas secara tekstual tapi menafsirkannya
dengan bermacam-macam penafsiran yang sesuai.
Hadits di atas yang menjelaskan bid’ah
termasuk dalam kategori ini. Keumuman-keumuman hadits dan keadaan-keadaan
sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah tercela
yang tidak berada dalam naungan prinsip umum. Dalam sebuah hadits dijelaskan:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْر
مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Siapapun yang mengawali tradisi
yang terpuji maka ia memperoleh pahala darinya dan dari pahala mereka yang
mengamalkannya sampai hari kiamat."
"Berpegangteguhlah
dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin sesudah wafatku."
Umar ibn Khaththab berkomentar mengenai
sholat tarawih: "Sebaik-baik bid’ah adalah ini (sholat tarawih berjama’ah
dalam satu masjid dengan seorang imam)".
PERBEDAAN PASTI ANTARA
BID’AH SYAR’IYYAH DAN BID’AH LUGHAWIYYAH
Sebagian ulama mengkritik
pengklasifikasian bid’ah dalam bid’ah terpuji dan tercela. Mereka menolak
dengan keras orang yang berpendapat demikian. Malah sebagian ada yang
menuduhnya fasik dan sesat disebabkan berlawanan dengan sabda Nabi saw. yang
jelas: "Setiap bid’ah itu sesat". Teks hadits ini jelas menunjukkan keumuman
dan menggambarkan bid’ah sebagai sesat.
Karena itu Anda akan melihat ia berkata:
Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik risalah bahwa setiap bid’ah itu
sesat, apakah sah ungkapan: Akan datang seorang mujtahid atau faqih, apapun
kedudukannya, lalu ia berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat.
Tetapi sebagian bid’ah itu sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk.
Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak
dan ingkar serta memperbanyak jumlah orang-orang yang tidak memahami
tujuan-tujuan syari’ah dan tidak merasakan spirit agama Islam.
Tidak lama kemudian mereka terpaksa
menciptakan jalan untuk memecahkan problem-problem yang mereka hadapi dan
kondisi zaman yang mereka hadapi juga menekan mereka. Mereka terpaksa
menciptakan perantara lain. Yang jika tanpa perantara ini mereka tidak akan
bisa makan, minum dan diam. Malah tidak akan bisa mengenakan pakaian, bernafas,
menikah serta berhubungan dengan dirinya, keluarga, saudara dan masyarakatnya.
Perantara ini ialah ungkapan yang
dilontarkan dengan jelas: Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua ; 1) Bid’ah
Diniyah (keagamaan) 2) Bid’ah Duniawiyyah (keduniaan). Subhanallah, mereka yang
suka bermain-main ini membolehkan menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal
telah membuat nama tersebut. Jika kita setuju bahwa pengertian ini telah ada
sejak era kenabian namun pembagian ini, diniyyah dan duniawiyyah, sama sekali
tidak ada dalam era pembuatan undang-undang kenabian. Lalu dari mana pembagian
ini? dan dari mana nama-nama baru ini datang?
Orang yang berkata bahwa pembagian
bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka saya akan
menjawabnya bahwa pembagian bid’ah ke bid’ah diniyyah yang tidak bisa diterima
dan ke duniawiyyah yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang
sebenarnya. Rasulullah saw. sebagai Syari’ bersabda: “Setiap bid’ah itu
sesat". Demikianlah beliau mengatakannya secara mutlak. Sedang ia
mengatakan tidak, tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi bid’ah terbagi
menjadi dua bagian; diniyyah yang sesat dan duniawiyyah yang tidak mengandung
konsekuensi apa-apa. Karena itu harus kami jelaskan di sini sebuah persoalan
penting yang dengannya banyak keganjilan akan menjadi jelas, insya Allah.
Dalam persoalan ini yang berbicara
adalah Syari’ yang bijak. Lisan Syari’ adalah lisan Syar’i. Maka untuk memahami
ucapannya harus menggunakan standar Syar’i yang dibawa Syari’. Jika Anda telah
mengetahui bahwa bid’ah pada dasarnya adalah setiap hal yang baru dan
diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap dari hatimu
bahwa penambahan dan pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan dalam
urusan agama agar tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at
agar tambahan itu mengambil bentuk syari’ah.
Lalu akhirnya tambahan itu menjadi
syari’at yang dipatuhi yang dinisbatkan kepada pemilik syari’ah. Bid’ah model
inilah yang mendapat ancaman dari Nabi saw.:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa menciptakan dalam
agama kita, hal baru yang bukan bagian dari agama, maka ia ditolak."
Garis pemisah dalam tema hadits ini
adalah kalimat “فِى أَمْرِنَا هَذَا”. Oleh karena itu pengklasifikasian bid’ah menjadi
bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya berlaku untuk pengertian
bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa. Yakni, sekedar menciptakan hal baru.
Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ tidak lain adalah
sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan dibenci. Jika mereka yang
menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka akan tampak bagi
mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber persengketaan itu
jauh. Untuk lebih mendekatkan beberapa pemahaman, saya melihat mereka yang
mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah, sebenarnya
mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’, dengan bukti mereka membagi
bid’ah dalam bid’ah diniyyah dan duniawiyyah, dan penilaian mereka bahwa
pembagian ini adalah sebuah keniscayaan.
Mereka yang membagi bid’ah menjadi
bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa pembagian ini dikaitkan dengan
tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka mengatakan bahwa penambahan
dalam agama dan syari’at adalah kesesatan dan perbuatan amat tercela. Keyakinan
semacam ini tidak diragukan lagi di mata mereka. Dari dua cara pandang yang
berbeda ini berarti perbedaan antara dua kelompok ini tidaklah substansial
Hanya saja saya melihat bahwa
kawan-kawan yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah dan
yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyyah
tidak mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan
ketika mereka memvonis bahwa bid’ah diniyyah itu sesat, –ini adalah pendapat
yang benar– dan bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah
keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua
bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa
menimbulkan fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan ini wajib dan mendesak
untuk dijelaskan secara mendetail.
Yakni mereka mengatakan bahwa bid’ah
duniawiyyah ada yang baik dan ada yang buruk sebagaimana fakta yang terjadi,
yang tidak diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh. Penambahan kalimat ini
harus dilakukan. Untuk mendapatkan pengertian yang tepat, cukuplah kita
menggunakan pendapat orang yang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi bid’ah
hasanah dan bid’ah sayyiah. Yang dimaksud bid’ah di sini sudah jelas adalah
bid’ah dari aspek bahasa sebagaimana telah dipaparkan di atas. Bid’ah dalam
pengertian inilah yang dikatakan dengan bid’ah duniawiyyah oleh mereka yang
ingkar terhadap pembagiannya menjadi hasanah dan sayyiah. Pendapat bid’ah
terbagi menjadi hasanah dan sayyiah adalah pendapat yang sangat cermat dan hati-hati.
Karena pendapat ini mengumandangkan kepada setiap hal baru untuk mematuhi hukum
syari’at dan kaidah-kaidah agama, dan mengharuskan kaum muslimin untuk
menyelaraskan semua urusan dunia, baik yang bersifat umum atau khusus, sesuai
dengan syariat Islam, agar mengetahui hukum Islam yang terdapat di dalamnya,
betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin direalisasikan
kecuali dengan mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat
pertimbangan dari para aimmatul ushul.
Semoga Allah swt. meridloi para
a'immatul ushul dan meridhoi kajian mereka terhadap lafadz-lafadz yang shahih
dan mencukupi yang mengantar menuju pengertian-pengertian yang benar, tanpa
pengurangan, perubahan atau interpretasi.
AJAKAN PARA AIMMAT
AT-TASHAWWUF UNTUK MENGAPLIKASIKAN SYARI'AT
Tasawwuf, obyek yang teraniaya dan
senantiasa dicurigai, sangat minim mereka yang bersikap adil dalam
menyikapinya. Justru sebagian kalangan dengan keterlaluan dan tanpa rasa malu
mengkategorikannya dalam daftar karakter negatif yang mengakibatkan gugurnya
kesaksian dan lenyapnya sikap adil, dengan mengatakan, “Fulan bukan orang yang
bisa dipercaya dan informasinya ditolak.” Mengapa? Karena ia seorang sufi.
Anehnya, saya melihat sebagian mereka yang menghina tasawwuf, menyerang dan
memusuhi pengamal tasawwuf bertindak dan berbicara tentang tasawwuf, kemudian
tanpa sungkan mengutip ungkapan para imam tasawwuf dalam khutbah dan ceramahnya
di atas mimbar-mimbar Jum’at kursi-kursi pengajaran.
Dengan gagah dan percaya diri ia
mengatakan, “Berkata Fudhail ibn ‘Iyadh, al-Junaid, al-Hasan al-Bashri, Sahl
at-Tusturi, al-Muhasibi, dan Bisyr al-Hafi.” Fudhail ibn ‘Iyadh, al-Junaid,
al-Hasan al-Bashri, Sahl at-Tusturi, al-Muhasibi, dan Bisyr al-Hafi adalah
tokoh-tokoh tasawwuf yang kitab-kitab tasawwuf penuh dengan ucapan, informasi,
kisah-kisah teladan, dan karakter mereka. Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia
bodoh atau pura-pura bodoh? Buta atau pura-pura buta? Saya ingin mengutip
pandangan para tokoh tasawwuf menyangkut syari’ah Islam agar kita mengetahui
sikap mereka sesungguhnya.
Karena yang wajib adalah kita mengetahui
seseorang lewat pribadinya sendiri dan manusia adalah orang terbaik yang
berbicara mengenai pandangannya dan yang paling dipercaya mengungkapkan apa
yang dirahasiakan. Al-Imam Junaid ra. berkata : “Semua jalan telah tertutup
bagi makhluk kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah, sunnahnya dan setia
pada jalan ditempuh beliau. Karena semua jalan kebaikan terbuka untuk Nabi dan
mereka yang mengikuti jejak beliau."
Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa
Abu Yazid al-Basthomi suatu hari berbicara pada para muridnya, “Bangunlah
bersamaku untuk melihat orang mempopulerkan dirinya sebagai wali.” Lalu Abu
Yazid dan murid-muridnya berangkat untuk mendatangi wali tersebut. Kebetulan
wali tersebut hendak menuju masjid dan meludah ke arah kiblat. Abu Yazid pun
berbalik pulang dan tidak memberi salam. “Orang ini tidak dapat dipercaya atas
satu etika dari beberapa etika Rasulullah saw., maka bagaimana mungkin ia dapat
dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan para wali dan shiddiqin?“ kata Abu
Yazid.
Dzunnun al-Mishri berkata, "Poros
dari segala ungkapan (madar al- Kalam) ada empat; Cinta kepada Allah Yang Maha
Agung, benci kepada yang sedikit, mengikuti al-Quran, dan khawatir berubah menjadi
orang celaka. Salah satu indikasi orang yang cinta kepada Allah adalah
mengikuti kekasih Allah saw. dalam budi pekerti, tindakan, perintah dan
sunnahnya."
As-Sirri as-Siqthi berkata, “Tasawwuf
adalah identitas untuk tiga makna; Shufi (pengamal tasawwuf) adalah orang yang
cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak berbicara
menggunakan bathin menyangkut ilmu yang bertentangan dengan pengertian lahirial
al-Kitab dan as-Sunnah, dan karomahnya tidak mendorong untuk menyingkap
tabir-tabir keharaman Allah swt."
Abu Nashr Bisyr ibn al-Harits al-Hafi
berkata, “Saya bermimpi bertemu Nabi saw.: “Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa
Allah meninggikan derajatmu mengalahkan teman-temanmu? Tanya Beliau.“Tidak
tahu, Wahai Rasulullah,” Jawabku. “Sebab Engkau mengikuti sunnahku, mengabdi
kepada orang salih, memberi nasihat pada teman-temanmu dan kecintaanmu kepada
para sahabat dan keluargaku. Inilah faktor yang membuatmu meraih derajat
orang-orang yang baik (Abror).”
Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur al-Bashthomi
berkata, “Sungguh terlintas di hatiku untuk memohon kepada Allah swt. agar
mencukupi biaya makan dan biaya perempuan, kemudian saya berkata. “Bagaimana
boleh saya memohon ini kepada Allah swt. padahal Rasulullah saw. tidak pernah
memohon demikian.” Akhirnya saya tidak memohon ini kepada Allah swt. Kemudian
Allah swt. mencukupi biaya para perempuan hingga saya tidak peduli, apakah
perempuan menghadapku atau tembok."
Abu Yazid juga pernah berkata, “Jika
engkau memandang seorang laki-laki diberi beberapa karomah hingga ia mampu
terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu sampai engkau melihat bagaimana
sikapnya menghadapi perintah dan larangan Allah, menjaga batas-batas yang
digariskan Allah dan pelaksanaannnya terhadap syari’ah.”
Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah
ad-Darani berkata, “Terkadang, selama beberapa hari terasa di hatiku satu
noktah dari beberapa noktah masyarakat. Saya tidak menerima isi dari hati saya
kecuali dengan dua saksi adil ; al-Qur’an dan as-Sunnah.
Abul Hasan Ahmad ibn Abi al-Hawari
berkata, “Siapapun yang mengerjakan perbuatan tanpa mengikuti sunnah Rasulullah
saw. maka perbuatan itu sia-sia.”
Abu Hafsh Umar ibn Salamah al-Haddaad
berkata, “Barangsiapa yang tidak mengukur semua tindakannya setiap saat dengan
al-Kitab dan as-Sunnah, dan tidak berburuk sangka dengan apa yang terlintas
dalam hatinya, maka janganlah ia dimasukkan dalam daftar para tokoh besar
(diwan ar-Rijal).
Abul Qasim al-Junaid ibn Muhammad
berkata, “Siapapun yang tidak memperhatikan al-Qur’an dan tidak mencatat al-Hadits,
ia tidak bisa dijadikan panutan dalam bidang ini (tasawwuf), karena ilmu kita
dibatasi dengan al-Kitab dan as-Sunnah.”
Ia juga berkata, “ Madzhabku ini
dibatasi dengan prinsip-prinsip al-Kitab dan as-Sunnah dan ilmuku ini dibangun
di atas fondasi hadits Rasulullah saw.”
Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail al-Hairi
berkata, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka anaknya, Abu Bakar merobek-robek
qamis yang melekat pada tubuhnya, lalu Abu ‘Utsman membuka matanya dan berkata,
“Wahai Anakku, mempraktekkan sunnah dalam penampilan lahiriah itu indikasi
kesempurnaan batin.”
Ia juga berkata, “Bersahabat dengan
Allah swt. itu dengan budi pekerti yang luhur dan senantiasa takut kepadaNya.
Bersahabat dengan Rasulullah saw. itu dengan mengikuti sunnahnya dan senantiasa
mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para wali dengan menghormati dan
mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan budi pekerti yang baik.
Bersahabat dengan kawan-kawan itu dengan senantiasa bermuka manis sepanjang
bukan perbuatan dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh itu dengan mendoakan
dan rasa belas kasih."
Ia juga berkata, “Barangsiapa yang
memposisikan as-Sunnah sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia
akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa memposisikan hawa nafsu sebagai
pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan bid’ah.
Allah swt. berfirman:
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
"Jika kamu taat kepadanya, niscaya
kamu mendapat petunjuk." (QS. an-Nur:54)
Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad an-Nawawi mengatakan,
“Jika engkau melihat orang yang mengklaim kondisi bersama Allah swt. yang
membuatnya terlepas dari batasan ilmu syari’at maka janganlah engkau
mendekatinya.”
Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ al-Karmani
berkata, “Barangsiapa memejamkan matanya dari hal-hal yang diharamkan,
mengendalikan nafsunya dari syahwat, menghidupkan bathinnya dengan senantiasa
merasakan kehadiran Allah swt. (muraqabat) dan menghidupkan keadaan lahiriahnya
dengan mengikuti sunnah, dan membiasakan diri memakan barang halal, maka firasatnya
tidak akan meleset.”
Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl
ibn Atha’ mengatakan, “Barangsiapa menekan dirinya untuk mengamalkan
etika-etika syari’at maka Allah swt. akan menerangi hatinya dengan cahaya
ma’rifat dan dianugerahi kedudukan mengikuti al-Habib Rasulullah saw. dalam
segala perintah, larangan dan budi pekerti beliau saw.”
Ia juga mengatakan, “Semua yang
ditanyakan kepadaku carilah pada belantara syari’at. Jika engkau tidak
menemukannya, carilah di medan hikmah. Jika tidak menemukannya, takarlah dengan
tauhid. Dan jika tidak menemukannya di tiga tempat pencarian ini, maka
lemparkanlah ia ke wajah setan.”
Abu Hamzah al-Baghdadi al-Bazzar
mengatakan, “Siapapun yang mengetahui jalan Allah swt. maka Dia akan memudahkan
untuk menempuhnya. Dan tidak ada petunjuk jalan menuju Allah swt. kecuali
mengikuti Rasulullah saw. dalam sikap, tindakan dan ucapan beliau.”
Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud ar-Ruqi
mengatakan, “ Indikator cinta kepada Allah swt. adalah memprioritaskan ketaatan
kepada Allah swt. dan mengikuti NabiNya saw.”
Mamsyad ad-Dinawari berkata, “Etika
murid adalah selalu dalam menghormati masyayikh (guru), membantu kawan-kawan,
terlepas dari faktor-faktor penyebab, dan menjaga etika syari’at untuk
dirinya.”
Abu Abdillah ibn Munazil berkata, “Tidak
ada seseorangpun yang menelantarkan salah satu kefardhuan Allah swt. kecuali
Allah swt. akan menimpakan musibah dengan menyia-nyiakan sunnah. Dan Allah swt.
tidak menimpakan musibah seseorang dengan menelantarkan sunnah kecuali ia
hendak diberi musibah dengan bid’ah.”
SUBSTANSI KELOMPOK
IMAM ABUL HASAN AL-ASY’ARI (ASYA’IRAH)
Banyak kaum muslimin tidak mengenal
madzhab al-Asya’irah (kelompok ulama penganut madzhab Imam Asy’ari) dan tidak
mengetahui siapakah mereka, dan metode mereka dalam bidang aqidah. Sebagian
kalangan, tanpa apriori, malah menilai mereka sesat atau telah keluar dari
Islam dan menyimpang dalam memahami sifat-sifat Allah swt. Ketidaktahuan
terhadap madzhab al-Asya’irah ini adalah faktor retaknya kesatuan kelompok
Ahlussunnah dan terpecah-pecahnya persatuan mereka, sehingga sebagian kalangan
yang bodoh memasukkan al-Asya’irah dalam daftar kelompok sesat. Saya tidak
habis pikir, mengapa kelompok yang beriman dan kelompok sesat disatukan? Dan
mengapa Ahlussunnah dan kelompok ekstrim Mu’tazilah (Jahmiyyah) disamakan?
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ
"Maka apakah patut Kami menjadikan
orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)."
(QS. Al-Qalam:35)
Al-Asya’irah adalah para imam simbol
hidayah dari kalangan ulama muslimin yang ilmu mereka memenuhi bagian timur dan
barat dunia dan semua orang sepakat atas keutamaan, keilmuan dan keagamaan
mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama Ahlussunnah yang menentang
kesewenang-wenangan Mu’tazilah.
Dalam versi Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah al-Asya’irah digambarkan dalam kitab al-Fataawaa, volume 4 sebagai
berikut: "Para ulama adalah pembela ilmu agama dan al-Asya’irah pembela
dasar-dasar agama (ushuluddin)."
Al-Asya’irah (penganut madzhab al-Asy’ari) terdiri dari kelompok para imam
ahli hadits, ahli fiqih dan ahli tafsir seperti :
Syaikhul Islam Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani, yang tidak disangsikan lagi
sebagai gurunya para ahli hadits, penyusun kitab Fathu al-Bari ‘ala Syarhi
al-Bukhaari.
Syaikhu Ulamai Ahlissunnah, al-Imam an-Nawaawi, penyusun Syarh Shahih
Muslim, dan penyusun banyak kitab populer.
Syaikhul Mufassirin al-Imam al-Qurthubi penyusun tafsir al-Jami’ li Ahkami
al-Qur’an.
Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami, penyusun kitab az-Zawajir ‘an Iqtiraf
al-Kaba’ir.
Syaikhul Fiqh, al-Hujjah (argumentasi) dan ats-Tsabat (tokoh ulama yang
dipercaya) Zakariya al-Anshari.
Al-Imam Abu Bakar al-Baaqilani
Al-Imam al-Qashthalani.
Al-Imam an-Nasafi
Al-Imam asy-Syarbini
Abu Hayyan an-Nahwi, penyusun tafsir al-Bahru al-Muhith.
Al-Imam Ibnu Juza, penyusun at-Tafshil fi ‘Uluumi at-Tanzil.
Dan sebagainya.
Seandainya kita menghitung jumlah ulama
besar dari ahli hadits, tafsir dan fiqh dari kalangan al-Asya’irah, maka
keadaan tidak akan memungkinkan dan kita membutuhkan beberapa jilid buku untuk
merangkai nama para ulama besar yang ilmu mereka memenuhi wilayah timur dan
barat bumi. Adalah salah satu kewajiban kita untuk berterimakasih kepada
orang-orang yang telah berjasa dan mengakui keutamaan orang-orang yang berilmu
dan memiliki kelebihan yakni para tokoh ulama, yang telah mengabdi kepada
syari’at junjungan para rasul Muhammad saw.
Kebaikan apa yang bisa kita peroleh jika
kita menuding para ulama besar dan generasi salaf shalih telah menyimpang dan
sesat? Bagaimana Allah swt. akan membukakan mata hati kita untuk mengambil
manfaat dari ilmu mereka bila kita meyakini mereka telah menyimpang dan
tersesat dari jalan Islam?
Saya ingin bertanya, “Adakah dari para
ulama sekarang dari kalangan doktor dan orang-orang jenius, yang telah mengabdi
kepada hadits Nabi saw. sebagaimana dua imam besar ; Ibnu Hajar al-‘Asqalani
dan al-Imam an-Nawawi? semoga Allah swt. melimpahkan rahmat dan keridhoan
kepada mereka berdua.”
Lalu mengapa kita menuduh sesat mereka
berdua dan ulama al-Asya’irah yang lain, padahal kita membutuhkan ilmu-ilmu
mereka? Mengapa kita mengambil ilmu dari mereka jika mereka memang sesat?
Padahal al-Imam Ibnu Sirin rahimakumullah pernah berkata: "Ilmu hadits ini
adalah agama maka perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian."
Apakah tidak cukup bagi orang yang tidak sependapat dengan para imam di atas,
untuk mengatakan, “Mereka rahimahullah telah berijtihad dan mereka salah dalam
menafsirkan sifat-sifat Allah swt."
Maka yang lebih baik adalah tidak
mengikuti metode mereka. Sebagai ganti dari ungkapan kami menuduh mereka telah
menyimpang dan sesat dan kami marah atas orang yang mengkategorikan mereka
sebagai Ahlussunnah. Bila al-Imam an-Nawawi, al-‘Asqalani, al-Qurthubi,
al-Fakhrurrazi, al-Haitami dan Zakariya al-Anshari dan ulama besar lain tidak
dikategorikan sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, lalu siapakah mereka yang
termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah?.
Sungguh, dengan tulus kami mengajak
semua pendakwah dan mereka yang beraktivitas di medan dakwah Islam untuk takut
kepada Allah swt. dalam menilai umat Muhammad, khususnya menyangkut tokoh-tokoh
besar ulama dan fuqaha’. Karena, umat Muhammad tetap dalam kondisi baik hingga
tiba hari kiamat. Dan tidak ada kebaikan bagi kita jika tidak mengakui
kedudukan dan keutamaan para ulama kita sendiri.
ESENSI-ESENSI YANG SELESAI DENGAN KAJIAN
Polemik berkembang di antara ulama
menyangkut banyak substansi persoalan dalam bidang aqidah, yang Allah swt.
tidak membebani kita untuk mengkajinya. Dalam pandangan saya polemik ini telah menghilangkan
keindahan dan keagungan substansi masalah ini. Misalkan, pro kontra para ulama
menyangkut melihatnya Nabi saw. kepada Allah swt. dan bagaimana cara
melihatNya, dan perbedaan yang luas antara mereka menyangkut persoalan ini.
Sebagian berpendapat Nabi saw. melihat Allah swt. dengan hatinya, dan sebagian
berpendapat dengan mata. Kedua kubu ini sama-sama mengajukan argumentasi dan
membela pendapatnya dengan hal-hal yang tak berguna.
Dalam pandangan saya perbedaan ini tidak
berguna sama sekali. Justru menimbulkan dampak negatif yang lebih besar
dibanding manfaat yang didapat. Apalagi jika masyarakat awam mendengar polemik
yang pasti menimbulkan keragu-raguan di hati mereka ini. Jika kita mau
mengesampingkan polemik ini dan menganggap cukup dengan menyajikan sunstansi
persoalan ini apa adanya maka niscaya persoalan ini tetap dimuliakan dan
dihargai dalam sanubari kaum muslimin, dengan cara kita mengatakan bahwa
Rasulullah saw. melihat Tuhannya.
Cukup kita berkata demikian sedangkan
menyangkut cara melihat dan lain sebagainya biarlah menjadi urusan Nabi saw.
Dalam firman Allah swt:
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيماً
"Dan Allah telah berfirman terhadap
Musa"
Salah satu subsatansi persoalan di atas
adalah polemik yang berkembang di antara para ulama menyangkut substansi firman
Allah swt. dan perbedaan luas dalam masalah ini. sebagian berpendapat bahwa
firman Allah swt. adalah suara hati (kalam nafsi) dan sebagian lagi berpendapat
bahwa kalam Allah swt. berhuruf dan bersuara. Saya sendiri berpendapat kedua
pihak ini sama-sama mencari substansi mensucikan Allah swt. dan menjauhi syirik
dalam berbagai bentuknya.
Persoalan kalam (firman Allah) adalah
kebenaran yang tidak bisa diingkari, karena tidak meniadakan kesempurnaan
Ilahi. Ini adalah pandangan dari satu aspek. Ditinjau dari aspek lain,
sifat-sifat Allah swt. yang terdapat dalam al-Qur’an wajib dipercayai dan
ditetapkan, karena tidak ada yang mengetahui Allah swt. kecuali Allah swt.
sendiri. Apa yang saya yakini dan saya ajak adalah menetapkan kebenaran ini
tanpa perlu membicarakan bagaimana cara dan bentuknya. Kita tetapkan bahwa
Allah swt. memiliki sifat kalam dan berkata: "Ini adalah kalam Allah swt.
dan Allah swt. adalah Dzat yang berbicara." Kita cukup berbicara seperti
ini dan menjauhi mengkaji apakah kalam itu kalam nafsi atau kalam yang bukan
nafsi yang berhuruf dan bersuara atau tidak berhuruf dan tidak bersuara.
Karena pembahasan seperti ini
berlebihan, yang Nabi Muhammad saw. sebagai pembawa tauhid tidak pernah
membicarakannya. Lalu mengapa kita menambahkan apa yang datang dibawa oleh Nabi
saw.? Bukankah hal semacam ini adalah salah satu bid’ah terburuk? Subhanaka
Hadza Buhtanun ‘Adzim. Rasulullah Saw. mengabarkan kepada kita tentang kalam
pada saat kita berkumpul dengan beliau di sisi Allah swt.
Kami mengajak agar pembicaraan kita
selamanya menyangkut substansi kalam dan masalah sejenis terlepas dari
pembahasan mengenai cara dan bentuknya.
Dalam sabda Rasulullah saw.:
إِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ خَلْفِي
"Saya mampu melihatmu dari
belakang."
Salah satu subsatansi persoalan di atas
adalah polemik yang terjadi di antara ulama menyangkut substansi sabda Nabi
saw, “Sesungguhnya saya bisa melihat kalian dari belakang sebagaimana dari arah
depan.” Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah swt. menciptakan dua mata di
arah belakang. Sebagian berpendapat bahwa Allah swt. menjadikan kedua mata
beliau yang di depan memiliki kekuatan yang mampu menembus bagian belakang.
Sebagian lagi berpendapat bahwa Allah swt. membalik obyek yang ada di belakang
Nabi saw. sehingga berada di depan beliau. Semua ini adalah interpretasi
berlebihan yang membuat persoalan ini kehilangan keindahan dan keelokannya
sekaligus meredupkan kewibawaan dan keagungannya di hati manusia. Adapun
keberadaan Nabi saw. mampu melihat orang yang berada di belakang sebagaimana
melihat orang yang ada di depan maka ini adalah fakta yang telah disampaikan
beliau sendiri dalam hadits shahih.
Maka tidak ada ruang sama sekali untuk
membantahnya. Namun apa yang saya ajak dan menjadi pendapat saya adalah
menetapkan fakta ini apa adanya tanpa perlu mengkaji cara dan bentuknya. Kita
wajib meyakini kemungkinan terjadinya dan dampaknya, dengan cara menyaksikan
salah satu hal yang di luar kebiasaan yang meminggirkan faktor penyebab untuk
menampakkan kekuasaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa serta kedudukan
Rasulullah saw.
جبريل يتمثل رجلا
"Jibril menyamar sebagai seorang
lelaki"
Para ulama bersilang sengketa menyangkut
penyamaran Jibril as. saat datang membawa wahyu dalam bentuk seorang lelaki
padahal fisik Jibril as. sangat luar biasa besar. Sebagian berpendapat bahwa
Allah swt. membuang kelebihan dari fisiknya. Sebagian lain menyatakan sebagian
fisiknya menyatu dengan yang lain sehingga menyusut menjadi kecil. Menurut
hemat saya interpretasi ini tidak berguna. Saya meyakini Allah mampu membuat
Jibril menyamar dalam bentuk seorang laki-laki dan ini merupakan fakta yang
telah disaksikan oleh banyak sahabat.
Bagi saya tidaklah penting mengetahui
cara penyamaran Jibril dalam bentuk seorang laki-laki dan saya mengajak saudara-saudara
kita sesama pelajar untuk menyampaikan fakta ini tanpa perlu menyinggung
perbedaan-perbedaan yang menyertainya agar fakta ini tetap besar dan agung
dalam hati.
PENGERTIAN TAWASSUL
Banyak kalangan keliru dalam memahami
substansi tawassul. Karena itu kami akan menjelaskan pengertian tawassul yang
benar dalam pandangan kami. Namun sebelumnya akan kami jelaskan dulu
point-point berikut:
1.
Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah
satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah swt. Maksud sesungguhnya
adalah Allah swt. Obyek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini
berarti ia telah musyrik.
2.
Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan
mediator tersebut kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa
Allah swt. mencintainya. Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan
menjadi orang yang paling menjauhinya dan paling membencinya.
3.
Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang
dijadikan untuk bertawassul kepada Allah swt. itu bisa memberi manfaat dan
derita dengan sendirinya sebagaimana Allah swt. atau tanpa izinNya, niscaya ia
musyrik.
4.
Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya doa
tidaklah ditentukan dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah swt.
secara mutlak, sebagaimana firman Allah swt.:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ
إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahKu) dan hendaklah mereka beriman
kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS.
al-Baqarah:186)
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
"Katakanlah: "Serulah Allah
atau serulah ar-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai
al-Asma' al-Husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan
suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan
tengah di antara kedua itu." (QS. al-Isra`:110)
BENTUK TAWASSUL YANG
DISEPAKATI ULAMA
Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang
menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa,
sholat, membaca al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan
puasa, sholat, bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar
peluangnya untuk diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari
hal ini.
Dalil diperbolehkannya tawassul dengan
amal shalih adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap
dalam goa. Salah seorang bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua
orangtua, yang lain dengan tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah
kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga
harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun
menyingkirkan persoalan yang mendera mereka.
Tawassul model ini telah dikaji,
dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah
dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul “Qa’idah Jalilah
fi at-Tawassul wa al-Wasilah”.
Titik Perbedaan
Sumber perbedaan dalam masalah tawassul
adalah tawassul dengan selain amal orang yang bertawassul, seperti tawassul
dengan dzat atau orang dengan mengatakan: "Ya Allah, aku bertawassul
dengan NabiMu Muhammad saw, atau dengan Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, ‘Utsman,
atau Ali ra." Tawassul model inilah yang dilarang oleh sebagian ulama.
Kami memandang bahwa pro kontra
menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan substansial. Karena tawassul
dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang dengan amal
perbuatannya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperbolehkan.
Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan
dengan mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah
yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik
dan sesat, pun hilang.
Akan saya jelaskan bagaimana orang yang
tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal
perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil
usahanya.
Saya katakan: Ketahuilah bahwa orang
yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan
tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya,
sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang
yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah swt, yang berjihad di jalan Allah
swt. Atau karena ia meyakini bahwa Allah swt. mencintai orang yang dijadikan
tawassul, sebagaimana firman Allah swt.:
"يحبّونهم ويحبّونه"
atau sifat-sifat di atas seluruhnya
berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini maka
anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal
perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini
oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya
dan akan mendapat pahala karenanya.
Orang yang bertawassul itu seolah-olah
berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia
mencintaiMu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya
meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridha terhadapnya. Maka saya
bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku
padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu."
Namun mayoritas kaum muslimin tidak
pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemahatahuan Dzat yang
tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang
mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya
bertawassul kepadaMu dengan NabiMu," itu sama dengan orang yang
mengatakan: "Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku
kepada NabiMu."
Karena orang yang pertama tidak akan
berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi.
Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak
akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari
para wali.
Berangkat dari paparan di muka, nyatalah
bahwa pro kontra masalah tawassul sesungguhnya hanya formalitas yang tidak
perlu berdampak perpecahan dan perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur
terhadap orang-orang yang bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran
Islam
سُبْحَانك هَذَا بُهْتَان عَظِيم
DALIL-DALIL TAWASSUL
YANG DIPRAKTEKKAN KAUM
MUSLIMIN
Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Wasilah adalah segala sesuatu yang
dijadikan Allah swt. sebagai faktor untuk mendekatkan kepada Allah swt. dan
sebagai media untuk mencapai kebutuhan. Parameter dalam bertawassul adalah
bahwa yang dijadikan wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang
ditawassulkan.
Lafadz al-Wasilah dalam ayat di atas
bersifat umum sebagaimana anda lihat. Lafadz ini mencakup tawassul dengan
sosok-sosok mulia dari kalangan para Nabi dan sholihin baik di dunia maupun
sesudah mati dan tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai dengan
ketentuannya. Tawassul dengan amal shalih ini dilakukan setelah amal ini
dikerjakan.
Dalam hadits dan atsar yang akan anda
dengar terdapat keterangan yang menjelaskan keumuman ayat di atas. Maka
perhatikan dengan seksama agar anda bisa melihat bahwa tawassul dengan Nabi
saw. sebelum wujudnya beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam
barzakh dan sesudah dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.
TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW.
SEBELUM WUJUD DI DUNIA
Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi
Muhammad saw.
Di dalam sebuah hadits terdapat
keterangan bahwa Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw.
Dalam al-Mustadrok, Imam al-Hakim
berkata: Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad al-‘Adlu menceritakan kepadaku, Abul Hasan
Muhammad Ibnu Ishak Ibnu Ibrahim al-Handhori menceritakan kepadaku, Abul Harits
Abdullah ibnu Muslim al-Fihri menceritakan kepadaku, Abdurrahman ibnu Zaid ibnu
Aslam menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar ra, ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda:”Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata Ya
Tuhanku, Aku mohon kepadaMu dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuniku.”
Allah berkata; Wahai Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum
menciptakanya. “ Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan
kekuatanMu dan Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku
tengadahkan kepalaku lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “Laa
Ilaha illa Allahu Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak
menyandarkan namaMu kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab
Adam. “Benar kamu wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai.
Berdo’alah kepadaKu dengan haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya
tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
Imam al-Hakim meriwayatkan hadits di
atas dalam kitab Al Mustadrok dan menilainya sebagai hadits shahih ( vol. 2
hal. 615 ). Al Hafidh As Suyuthi meriwayatkan dalam kitab Al Khashais An
Nabawiyah dan mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam Al Baihaqi
meriwayatkanya dalam kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan hadits
palsu sebagaimana telah ia jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalani dan
Az Zurqani dalam Al Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih.
vol. 1 hal. 62. As Subuki dalam kitabnya Syifaussaqaam juga menilainya sebagai
hadits shahih. Al Hafidh Al Haitami berkata, “At Tabrani meriwayatkan hadits di
atas dalam Al Ausath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya
kenal.” Majma’uzzawaid vol. 8 hal. 253.
Terdapat hadits dari jalur lain dari
Ibnu ‘Abbas dengan redaksi: “Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan
menciptakan Adam, surga dan neraka.”
HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan
isnad yang menurutnya shahih. Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya juga
menilai hadits ini shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi
dalam Al Wafaa pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al
Bidayah vol. 1 hlm. 180.
Sebagian ulama tidak sepakat atas
keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari statusnya, menolaknya dan
memvonisnya sebagai hadits palsu (maudlu’) seperti Adz Dzahabi dan pakar hadits
lain. Sebagian menilainya sebagai hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggapnya
sebagai hadits munkar. Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits
tidak satu suara dalam menilainya. Karena itu persoalan ini menjadi polemik
antara yang pro dan kontra berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status
hadits. Ini adalah kajian dari aspek sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari
aspek makna, maka mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengenai hadits tawassul ini.
DOKUMEN-DOKUMEN
TENTANG
HADITS TAWASSUL ADAM
AS
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah
menyebut dua hadits seraya berargumentasi dengan keduanya. Ia berkata, “Abu
al-Faraj Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah
berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika
Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi
tujuh langit, dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki ( betis )
‘arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga
yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun,
kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika
Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah
menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad ( yang tercatat pada ‘arsy )
junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, keduanya
bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.”
Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan dalam
kitab Dalaailu al-Nubuwwah dan melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan
kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Rasyid,
menceritakan kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan kepadaku Abdullah
ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari
‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Adam
melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan hak
Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat pertanyaan
lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau
menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah ‘arsy-Mu dan
ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah Muhammadun
Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk Engkau yang paling
mulia di sisi-Mu. Karena Engkau merangkai namanya dengan nama-Mu,” jawab Adam.
“Betul,” jawab Allah, “Aku telah mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari
keturunanmu. Jika tanpa dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya,
dan keduanya seperti tafsir atas beberapa hadits shahih. (Al-Fatawa, vol. II
hlm. 150).
Pendapat saya, fakta ini menunjukkan
bahwa hadits di atas layak dijadikan penguat dan legitimasi. Karena hadits
maudlu’ atau bathil tidak bisa dijadikan penguat di mata para pakar hadits. Dan
anda melihat sendiri bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah menjadikannya sebagai penguat
atas penafsiran
Show Conversion Code Hide Conversion Code Show Emoticon Hide Emoticon