الكَواكبُ الّمَاعَة
فِى تَحقِيق الْمُسَمّى
بأهْل السُّنّة
وَالجَماعة
تأليف
الأُستَاذ أبى الفَضَل
بْنِ الشَّيخْ عَبْدِ الشّكُور السِّنَورى بَاعِيْلانِ
ترجيم : برهان الراشد
طُبعَ عَلى نفقَةِ
مكتبَة ومطبَعة
فُسْقمترَين المسرع شيأنجور
بســـــم الله الرحــمن الرحــيم
الحمد لله جعلنا من أهل السمع والطاعة و
وفّقنا لاتباع السنة و ملازمة الجماعة وأشهد أن لاإله إلاالله وحده شهادة هى أفضل
زاد و خير بضاعة و أشهد أن سيدنا محمدا عبده و رسوله الذى أوجب الله علينا اتباعه
و الصلاة والسلام على سيدنا محمد المخصوص بأعظم شفاعة صلاة وسلاما يعمان اَله
وأصحابه وأشياعه وأتباعه. أمّا بعد..
Maka kemudian berkata Alfaqir Ila Rahmati Robbihi Ahmad
Abu Fadll bin Abd asy-Syakur yang bermuqim di Sinur (sebuah desa di
Tuban, Jawa Timur), semoga Allah menyelamatkannya dari setiap bala bencana yang
kelam. Sungguh kaum muslimin dewasa ini telah berpecah belah,
berkelompok-kelompok dan bergolongan-golongan. Dan setiap firqoh (dari mereka)
itu masing-masing mengaku bahwa firqoh dialah yang berada pada Assunah, Firqoh
lainnya yang bid'ah…
وَ كُلُّ حِزْبٍ بِمَالَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
" Dan setiap
golongan oleh apa yang ada diri mereka merasa gembira
وكُلُّ فِرْقَةٍ بِرَأْيِهِمْ
مُتَبَجِّحُوْنَ
Dan setiap firqoh pada masing-masng pendapatnya merasa berbangga hati
"
Dan orang-orang lain kepada mereka itu menaruh hati dan pada simpati,
sampai situasi dimana haqiqat Ahlussunah simpang siur bagi kebanyakan orang. Di
antara mereka banyak saling bertanya-tanya tentang haqiqat Ahlussunah itu,
bertanya-tanya tentang siapa yang berhaq mendapat predikat dengan nama itu.
Kemudian rasa iba saya terhadap nasib umat Islam timbul mendorong saya
untuk menjelaskan masalah yang penting ini, mengeluarkannya dari situasi yang
pelik ini. Maka saya susun Risalah ini. Saya namainya dengan nama Al-Kawakibul
Lammaa'ah fi Tahqiqil Musamma bi Ahlissunnati Wal Jama'ah (Bintang-bintang
yang berkilauan menyinari haqiqat nama AHLUSSUNAH WAL JAMA'AH) . Pada
Allah-lah saya permohonkan taufiq, inayah, hidayah dan baiknya penjelasan. Dan
inilah saatnya tandang tumandang dalam maksud utama tulisan ini dengan
mengharap pertolongan Allah Yang Maha merajai serta Dzat yang berhak disembah.
PENDAHULUAN
Ketahuilah bahwasanya sesungguhnya kaum muslimin dijamanRasulullah shollallohu
'alaihi wasallam (w. Senin, 02 Robi'ul Awwal 11 H /08 Juni 632 M)
adalah sebuah umat yang satu. Sehingga mereka belum pernah
mengalami perbedaan baik dalam aqidah maupun dalam pengamalan, perbedaan yang
mengantarkan pada perpecahan, tergolong-golong dan terkotak-kotak sebagaimana
Allah sanjung di beberapa ayat pada kitab sucinya yang mulia.
Kemudian di kala Rasullullah wafat, jadilah Sayyidina Abu Bakar rodliallohu
'anhu (w. Selasa, 08 Jumadil Akhir 13 H) sebagai kholifah (pemimpin
pengganti) bagi Beliau SAW. Selanjutnya setelah Beliau dengan penunjukan
langsung (istikhlaf) dari beliau tampillah Sayidina Umar bin
Khotthob (w. Jum'at, 29 Dzilhijjah 23 H) rodliallohu 'anhu menjadi
Kholifah. Pada saat ini belum muncul dikalangan mereka perbedaan kecuali
sedikit dari fihak yang tidak diperhitungkan perbedaannya. Kemudian setelah
Kekhalifahan sampai pada Sayidina Utsman (w. Jum'at,29 Dzul
Hijjah 35 H) rodliallohu 'anhu perbedaan mulai tampak jelas,
sejelas-jelasnya. Dan begitu kekhalifahan Sampai ke tanganSayyidina Ali Karromallohu
wajhah (w. 21 Ramadlan 40 H) perbedaan muncul memuncak, jelas sekali.
Nah disaat itu masyarakat berpecah belah, berbeda-beda pandangan dan
keinginan. Maka muncullah suatu kelompok yang memberontak pada pemerintahan
Sayyidina Ali rodliallohu 'anhu. Mereka mengibarkan bendera
perlawanan dan memukul genderang peperangan terhadapnya. Itulah mereka yang
kemudian dinamakan Kaum Khowarij. Dan nama inilah terus berlaku
bagi orang yang menempuh perjalanan dan berpandangan sama dengan kelompok
tersebut. Sementara itu muncul kelompok lain yang berlebihan dalam mencintai
Beliau dan begitu kuat fanitismenya. Dan mereka melampaui batas dalam sikapnya
itu. Itulah meraka yang kemudian dinamakan Kaum Syi'ah. Dan namanya
terus disematkan pada orang bermadzhab kelompok ini sampai masa sekarang. Dan
akhirnya kedua kelompok itupun terbagi-bagi lagi kedalam beberapa golongan yang
lain.
Dan Masing-masing dari firqoh-firqoh itu menyerukan kepada orang-orang
untuk mengikuti pandangan dan madzhabnya. Kemudian tak henti-hentinya setiap
firqoh baru muncul, firqoh demi firoh sampai akhirnya masyarakat terpecah
menjadi banyak firqoh. Serta Masing-masing dari firqoh-firqoh itu menyangka
berada pada ajaran yang hak dan benar. Kemudian sampai di penghujung masa
berakhirnya masa Tabi'in tampak muncul fiqoh lain yang menamakan dirinya Ahlul
Adli Wat Tauhid. Dan mereka adalah Kaum Mu'tajilah.
Karena keadaan masa seperti itulah baru muncul yang namanyaAhlussunnah
Waljama'ah bagi mereka yang senantiasa berpegang teguh pada Sunnah
Nabi Besar SAW dan Jalan Para Sahabat dalam keyakinan keberagamaan, amal
peribadahan lahiriyah dan akhlak bathiniyah. Maka ada sebagian orang di antara
mereka yang menekuni pada penegakan hujjah-hujjah dan dalil-dalil masalah
aqidah baik dalil aqli (argument rasional) maupun naqli (nash-nash
al-Qur'an, Hadits dan ijmak), dinamakanlah dengan nama Mutakallimin atau
Ulama Ahli Kalam. Ada sebagian yang menekuni pada ilmu-ilmu peribadahan,
mu'amalah, munakahat, berfatwa tentang hukum-hukum, peradilan, dan lain-lain,
maka dinamakanlah dengan nama Fuqohaatau Ulama Ahli Fiqih.
Dan ada sebagian lagi yang menekuni pada menghimpun hadits-hadits Nabi,
mengidentifikasi hadits shoheh dari yang lainnya dan sebangsanya, maka
dinamakanlah dengan nama Muhadditsin atau Ulama Ahli
Hadits. Dan ada sebagian lagi yang menekuni pada memperbanyak amal-amal lahir
dan membersihkan hati dan jiwa dari akhlak-akhlak yang jelek,
kemudian menghiasinya dengan akhlak-akhlak mulia, maka dinamakanlah dengan
nama Shufiyyah atau Ahli Tashowuf.
Berkata Ibnu Khuldun dalam kitab Muqodimah-nya,
"Sesungguhnya di dalam hukum fiqh yang digali dari dalil-dalil syar'I itu
banyak sekali perbedaan (khilafiayah) di antara para ulama mujtahid
sesuai dengan ketajaman hati dan fikirannya masing-masing, dengan perbedaan
yang memang tidak bisa dihindari terjadinya. Perbedaan di dalam agama ini
menjadi luas seluas-luasnya. Pada waktu itu bagi para muqollid mendapat
keleluasaan untuk taqlid kepada orang yang dikehendakinya. Sampai pada saat
dimana urusannya sampai pada para imam-imam yang empat – yang
mana mereka berada pada citra tertinggi (dalam urusan ini) – maka masyarakat
membatasi taqlidnya hanya pada imam-imam tersebut. Maka ditegakkanlah Madzhab
Empat ini sebagai tonggak pokok dalam agama.
Dan sudah menjadi maklum bahwasanya para Imam Empat itu memiliki penguasaan
yang lebih sempurna (daripada yang lainnya) dalam hal urusan aqidah,
hadits-hadits Nabi, dan amal-amalan bathiniyah, sebagaimana yang tampak jelas
bagi orang yang menghayati perjalanan hidup mereka tersebut. Hanya saja
dikarenakan ilmu fiqh adalah yang terpenting di zaman itu maka mereka lebih
banyak bergelut pada cabang ilmu itu. Adapun pabid'ahan-pabid'ahan dan nafsu
keangkara-murkaan dalam urusan aqidah dan obat penawar hati, walaupun memang
ada di zaman mereka itu akan tetapi gejala keburukannya belum beredar luas ke
seluruh penjuru bumi serta belum besarnya bahaya pada seluruh umat manusia. Dan
baru kemudian setelah Imam Empat itu tiada bertambah maraklah kesesatan dan
pabid'ahan itu secara kuat dan meluas. Nafsu angkara-murka itu berhamburan dan
menebarkan keburukan ke seantero jagat.
Pada zaman seperti itulah para imam-imam agama dari kalangan tokoh-tokoh
madzhab empat tegak membela dan menjaga apa yang telah menjadi pedomannya,
yaitu nilai-nilai aqidah yang telah pegangan Salafus sholeh.
Sehingga pada saat dimana urusannya sampai pada Imam Abil Hasan
'Asy'ari (260-324 H) danImam Abi Manshur Maturidi (333 H) Rodliallohu
anhuma.Mereka tegak membela dan menjaga apa yang para
imam empat anut, yaitu perjalanan hidup Nabi Besar Shollallohu 'alaihi
wa sallama dan perjalanan Para Shohabatnya. Yang pertama menganut
Madzhabnya Imam Syafi'I Rodliallohu anhu dan yang kedua menganut
madzhabnya Imam Abi Hanifah Rodliallohu 'anhu, sebagaimana
yang akan dijelaskan kemudian. Mereka berdua mendapatkan citra tertinggi menurut
pandangan masyarakat (muslimin). Mereka tercukupkan oleh madzhabnya kedua Imam
tersebut. Maka jadilah mereka dua kelompok,Kaum 'Asya'iroh dan Kaum
Maturidiyah. Kedua kelompok ini di antara firqoh-firqoh muslimin menjadi
khusus di dalam tradisi keilmu'an untuk penamaan Ahlussunnah wal
Jama'ah, sebagai pembedanya dari Kaum Mu'tajilah dan aliran-aliran
bid'ah dan hawa nafsu yang lainnya.
Dan tatkala Ahli hadits dan Tashowuf terbukti tidak ada perbedaan dengan
Kaum 'Asya'iroh dan maturidiyah maka mereka juga termasuk kedalam nama ini,
yaitu Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian.
FASAL I Tentang Penjelasan Kelompok Orang yang dikatakan Kaum Ahlussunnah
Wal Jama'ah
Berkata Syekh Syamsudin Muhammad Romly (1004 H) dalam
kitab Syarah Minhaj, " Ahli bid'ah adalah orang
yang dalam aqidahnya menyalahi apa yang menjadi dasar pegangan oleh
Ahlussunnah, yaitu apa yang menjadi dasar pegangan oleh Nabi Besar Shollallohu
'alaihi wasallama, para sahabatnya dan generasi setelahnya. Sedangkan yang
dimaksud dengan Ahlussunnah di masa-masa terakhir ini adalah
kedua Imamnya –yaitu Imam Abul Hasan 'Asy'ari (324 H) dan Imam Abu Manshur
Maturidi (333 H)- dan para pengikut kedua Imam tersebut. "
Berkata Al'alamah Sayyid Murtadlo Zabidi (1205 H) pada fasal
ke dua dari muqodimah syarah kitab Qowa'idil 'Aqo'id dari
kitab Ihya, " Dimana-mana dilontarkan kata Ahlussunnah wal jama'ah maka
yang dimaksud adalah 'Asy'iroh dan Maturidiyyah". BerkataSyekh Khoyali di
dalam hasyiahnya pada syarah 'Aqo'id Annasafiyyah(buah karya Imam
Najmuddin Umar bin Muhammad an-Nasafi, w. 537 H), " 'Asya'iroh adalah
Ahlussunnah wal Jama'ah. Inilah merupakan yang masyhur di daerah-daerah
Khurasan, Iraq, Syam (Siria) dan mayoritas penjuru negri-negri Islam. Sedangkan
di daerah-daerah Sebrang Sungai kata itu suka dilontarkan untuk Maturidiyah,
yaitu para sahabat Imam Abi Manshur"
Dan berkata Imam Kustulli di dalam hasyiyyahnya pada kitab
syarah yang sama, " Yang Masyhur dari (isthilah) Ahlussunnah wal
Jama'ah di daerah-daerah Khurasan, Iraq, Syam (Siria) dan mayoritas penjuru
negri-negri Islam lainnya adalah Golongan 'Asya'iroh, yaitu para sahabat Imam
Abi Hasan Asy'ari R.A. Beliau merupakan orang pertama yang bertentangan dengan
Aba 'Ali Jubai (303 H) dan keluar dari madzhabnya, kembali padaAssunnah,
yaitu perjalanan Nabi Besar Shollallohu 'alaihi wasallama, dan Jama'ah, yaitu
perjalanan Para Sahabat-nya Rodliyallohu 'anhum. Dan yang masyhur dari kata itu
di daerah-daerah Sebrang Sungai adalah Golongan Maturidiyyah, para sahabat Imam
Abi Manshur Maturidi. Di kedua golongan ini memang ada sedikit perbedaan
tentang beberapa masalah usuluddin seperti masalah Takwin, masalah istitsna',
masalah imannya muqolid. Namun para ulama ahli tahqiq dari kedua golongan ini
tidak membangsakannya pada bid'ah dan sesat. "
Dan berkata Syekh Ibnu Subki (727-771 H) dalam syarah
kitab 'Aqidah Ibnul Hajib (w. 28 Sya'ban 630 H) "Ketahuilah bahwa Kaum
Ahlussunnah wal Jama'ah seluruhnya sepakat pada satu aqidah tentang apa yang
wajib bagi Allah SWT, para rosulnya, dan para malaikatnya serta apa yang jadi
kewenangan Allah dan rosul-rosulnya, dan apa yang mustahil pada Allah Ta'ala,
pada rosul-rosulnya dan malaikat-malaikatnya, Walaupun ada perbedaan di dalam
tata-cara pengambilan dalil dan method-methode pencapaiannya atau di
dalam limmiyyah (alas an-bagaimana) suatu perkara menjadi
demikian. Maka Secara global, Mereka itu -menurut hasil penelitian- adalah ada
3 golongan :
1. Golongan Ahlul Hadits, sumber-sumber
pijakannya adalah Dalil-dalil Sam'iyyah (naqli), yakni Kitab Suci Alqur'an,
Sunnah dan Ijma.
2. Golongan Ahli pemikiran akal dan olah
pikir. Mereka adalah 'Asy'ariyyah dan Hanafiyyah, yang Guru besarnya
masing-masing adalah Imam Abul Hasan 'Asy'ari dan Imam Abu Manshur Maturidi.
Merekalah yang sepakat dalam sumber-sumber dalil 'aqli bagi setiap capaian yang
dibutuhkan di dalam pengambilan masalah syara. Merekalah yang sepakat dalam
sumber-sumber dalil naqli di dalam perkara yang dicapai akal dalam hukum
kebolehannya saja dan dalam sumber-sumber dalil 'aqli dan naqli di luar perkara
tersebut tadi. Mereka sepakat dalam semua yang bersifat keyakinan kecuali dalam
masalah takwin dan masalah taqlid.
3. Ahlul Wijdan wal
Kasyaf. Mereka adalah Kaum Sufi. Sumber pijakannya adalah sumber pijakan yang
dipakai oleh golongan ahli pikir dan Ahli Hadits pada tahap permulaannya dan
oleh Ahlul kasyaf wal Ilham pada tahap akhirnya."
Harus diketahui bahwa masing-masing kedua Imam itu – Imam Abil hasan dan
Imam Abi manshur Rodliallohu 'anhuma wa jazaahuma 'anil Islam khoeron -
samasekali tidak membuat pendapat yang baru dan tidak pula membuat suatu
madzhab tersendiri darinya. Sesungguhnya mereka hanya sebagai deklarator (Muqorrir)
bagi madzhabnya Kaum salaf dan sebagai pembela bagi faham yang telah dianut
oleh Para Sahabat Rosullulloh Shollallohu 'alaihi was sallama. Imam
Yang pertama tegak membela dengan topangan nash-nash madzhab Imam Syafi'I serta
apa-apa yang terkandungnya, yang kedua tegak membela dengan topangan nash-nash
Madzhab Abi Hanifah serta apa-apa yang terkandungnya. Keduanya gencar
berargumentasi menghadapi para penganut faham bid'ah dan sesat sampai tidak
berkutik dan kehabisan perkataan dan pada kabur terbirit-birit dan kocar-kacir.
Nah tindakan demikian itulah pada hakekatnya merupakan Jihad yang sejati, yang
tadi telah diisyaratkan (dalam perkataan Sayyid Murtadlo Zabidi). Pembangsaan
Ahlussunnah wal Jama'ah pada nama kedua Imam tersebut itu hanyalah memandang
bahwa sesungguhnya masing-masing dari kedua Imam itu sekedar membangun ikatan
berdasarkan jalan yang dianut Kaum Salaf, memegang erat dan menegakan
Hujjah-hujjahnya dan bukti-bukti kebenarannya berdasarkan jalan tersebut.
Dengan demikian maka orang yang mengikutinya dalam jalan pijakan serta
dalil-dalilnya itu semua akan dinamakan 'Asy'ari atau Maturidi.
Diceritakan oleh 'Izzuddin bin Abdissalam (577-660 H)
bahwa sesungguhnya 'Aqidahnya Imam 'Asy'ari telah diijmakan oleh golongan ulama
Syaf'iyyah, Malikiyyah dan Hanafiyyah serta begitu pula oleh tokoh-tokoh utama
ulama Hanabilah. Bersetuju dengan beliau terhadap hal ini seorang ulama yang
semasanya, Syekh-nya ulama Malikiyyah, yaitu Abu 'Amr ibnul Hajib (w.
28 Sya'ban 630 H). Demikian pula halnya dengan Syekh-nya ulama Hanafiyyah,
yaitu Jamaluddin Hushaeri. Imam 'Izzuddin bin Abdissalam juga
mendapat pengakuan terhadap hal itu dariTaqiyyuddin Subki (685-756
H) menurut apa yang dikutip putranya, Tajuddin Subki (727-771 H). Dan Dalam
perkataanSyekh Abdullah Mayuriqi ada terdapat kata-kata berikut,
"Kaum Ahlussunnah dari Golongan Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan mayoritas Hanafiyyah
dengan menggunakan bentuk kata-katanya Imam Abil Hasan 'Asy'ari mereka
melakukan pembelaan dan dengan menggunakan bentuk hujjahnya Beliau pula, mereka
berhujjah."
Kemudian beliau menambahkan pula, "Bukanlah Abul Hasan itu Ahli Kalam
pertama yang menggunakan konsefnya Kaum Ahlussunnah. Namun Beliau Hanya
menempuh perjalanan para pendahulunya atau berdasarkan topangan sebuah madzhab
terkenal yang kemudian Beliau menambahkan sisi hujjah dan penjelasannya bagi
madzhab tersebut. Beliau sama-sekali tidak membuat materi perbincangan lain
yang baru yang dibuatnya sendiri dan tidak pula madzhab lain yang berdiri
sendiri dari ulama lainnya. Bukankah anda lihat bahwasanya Madzhabnya Ulama
Madinah dibangsakan pada Imam Malik R.A. dan barangsiapa yang menganut
madzhab-madzhab Ulama Madinah maka dikatakan dia itu Malikiy (Bangsa
Maliki). Sedangkan Imam Malik hanya menempuh jalan para ulama pendahulunya saja
dan terbukti sebagai orang yang paling bisa mengikuti mereka itu. Terkecuali
memang begitu beliau yang dapat memberikan penjelasan dan penjabaran yang lebih
sempurna maka penisbatannya tertuju padanya. Begitu pula halnya yang dialami
oleh Abul Hasan Asy'ari. Tidak berbeda sama-sekali. Karena sesungguhnya tidak
ada di madzhab salaf yang banyak baik penjabaran dan pensyarahan maupun
komentar-komentar madzhab selain Imam Malik." Kemudian dia (Syekh Abdullah
Mayuriqi)menghitung-hitung sekian banyak ulama dari Golongan Malikiyyah yang
senantiasa mengadakan pembelaan terhadap Madzhab 'Asy'ari serta mengelompokkan
orang yang menentangnya ke dalam kelompok aliran bid'ah.
Berkata Tajuddin Subki (727-771) : " Golongan ulama Malikiyyah adalah
Kelompok orang yang paling khusus untuk nama 'Asy'ari, Karena Kami tidak kenal
pada seorang Malikiy yang bukan 'Asy'ari. Hal ini berbeda dengan yang kami
kenal pada golongan-golongan yang bukan...... Malikiyyah. Mereka memiliki
kecenderungan faham yang bermacam-macam, Ada yang lebih condong pada faham
mu'tajilah dan ada pula yang lebih condong pada faham Tasybih(menyerupakan
Allah dengan makhluk-makhluk-Nya), walaupun memang mereka yang
memiliki kecendrungan pada kedua faham ini adalah dari kelompok sempalan.
Dan diceritakan oleh Imam Ibnu 'Asakir (499-576
H) dalam kitab Tabyinul Muftari tentang Abal 'Abbas
Al-Hanafi yang dikenal Qodlil 'Askar (Hakim Agungnya
tentara). Beliau menerangkan bahwa Abal 'Abbas Al-Hanafi adalah sebagian dari
imam-imamnya para sahabat Imam Abi hanifah R.A dan beliau itu termasuk Ulama
terdahulu dalam ilmu kalam. Imam Ibnu 'Asakir menghikayatkan sejumlah pernyataan
kalam darinya, "Maka dari sebagian perkataannya adalah :
"Saya melihat pada Imam Abil hasan 'Asy'ari
terdapat bermacam-macam kitab yang banyak tentang fan ilmu ini, yakni fan
usuludin. Kitab-kitab itu berjumlah hampir mencapai 200 kitab. Dan sedangkan kitab Mujazul
Kabir itu muncul dengan kandungan meliputi seluruh isi yang ada pada
kitab-kitab karangannya. Imam 'Asy'ari pernah mengarang kitab yang banyak
sekali Untuk mentashih madzhab Mu'tajilah, karena dulunya beliau penganut
madzhab Mu'tajilah. Tapi kemudian Allah memberikan cahaya terang yang
menjelaskan padanya tentang kesesatan mereka. Lalu beliau keluar dari apa yang
beliau telah yakini dari madzhab mereka. Dan beliau susunlah beberapa kitab
yang membatalkan apa yang menjadi isi kitab karangan sebelumnya yang memang
telah memperkuat faham Mu'tajilah. Dan Ternyata umumnya para ashab Imam Syafi'I
pun menganut apa yang oleh Imam 'Asy'ari tetapkan. Para Ashab telah mengarang
kitab-kitab yang banyak yang sesuai dengan isi kitab yang ditulis oleh Imam 'Asy'ari."
Begitu tutur Abal 'Abbas Al-Hanafi.
Berkata Tajuddin Subki (727-771) :
"Saya mendengar Ayahanda Syekh Imam berkata, "Apa-apa yang terkandung
oleh Aqidahnya Imam Thohawi itulah yang diyakini oleh Imam 'Asy'ari, tidak
menyalahinya kecuali dalam tiga masalah." Kataku (Murtadlo Zabidi)
"Konon wafatnya Imam Thohawi di Mesir pada tahun 331 H.
Jadi beliau sezaman dengan Imam Abil Hasan 'Asy'ari dan Imam Abi Manshur
Maturidi" Saya dapat katakan bahwa wafatnya Imam Maturidi tahun 333
H. Wallohu A'lam.
Kemudian lebih lanjut Tajuddin Subki berkata,
"Dan saya ketahui bahwa Para ulama madzhab Maliki seluruhnya berfaham
'Asya'iroh, tidak terkecuali seorangpun. Ulama madzhab Syafi'I pada galibnya
menganut faham 'Asyairoh, tidak terkecuali selain yang menyerupai diantaranya
kepada Para penganutTajsim(keyakinan bahwa Allah adalah jisim; benda,
yang mempunyai ukuran, besar atau kecil) atau yang berhaluan mu'tajilah, yaitu
orang yang tidak dipedulikan Allah SWT. Kemudian Para Ulama Madzhab Hanafi
secara mayoritasnya merupakan 'Asya'iroh, yakni berkeyakinan 'aqidah Imam
'Asy'ri, tidak keluar dari fahamnya kecuali sebagian orang yang serupa dengan
Mu'tajilah. Sedangkan Para Ulama Madzhab Hambali kebanyakan tokoh-tokoh utama
terdahulunya adalah berfaham 'Asy'ari, tidak keluar darinya kecuali ada
sebagian yang menyerupai Ahli Tajsim. Mereka yang mempunyai
kecenderungan ini lebih banyak jumlahnya daripada unsur lain dari selain
golongan Madzhab Hambali.
FASAL II Tentang Penjelasan
Penggunaan Jenis Kata
Jika anda telah mengetahui hal demikian itu maka
ketahuilah Bahwa suatu suku kata itu ada yang hakekat dan ada
pula yangmajaz. Lalu masing-masing dari keduanya itu ada yang Lughowi,
ada yang Syar'I, dan ada juga yang Urfi (bersifat
tradisi, Adat Masyarakat) . Tradisi itu sendiri terdapat dua macam, ada yang
khusus dan ada yang umum. Hakekat adalah suku kata yang digunakan dalam
makna peruntukannya sejak pertamakalinya. Sementara Majaz adalah suku kata yang
digunakan dalam makna peruntukannya pada kedua kalinya karena alasan yang mengharuskannya.
Lughowi ialah suku kata yang dipakai oleh Ahli Lughot (Bahasa) karena
sudah jadi ishtilah (sepakat) atau karena bimbingan langsung (dari Allah SWT).
Contohnya seperti kata Asad (singa) diperuntukan untuk arti
"binatang yang menerkam". Syar'I ialah suku kata yang dipakai oleh
nara sumber (pembuat) syara', seperti kata sholat diperuntukan untuk arti
praktek ibadah tertentu. Sedangkan 'Urfi adalah suku kata yang mula-mula
dipakai oleh Tokoh Masyarakat Umum. Contohnya seperti kata dzaabbah diperuntukan
untuk arti "binatang berkaki empat", seperti keledai. Secara
lughot, dzaabbah adalah nama untuk segala sesuatu yang kumarayap di
atas permukaan bumi. Atau (hal demikian itu) oleh Tokoh Masyarakat tertentu.
Contohnya seperti kata "Fa'il" diperuntukan untuk suatu fungsi
kata yang dikenal di kalangan Ulama Nahwu. Urfi 'Am adalah lafadh yang
tidak tentu pengutipnya. Sementara 'Urf Khosh adalah lafadh yang tentu
pengutipnya. Terkadang banyak pula lafadh yang digunakan oleh para pemangku
agama untuk arti tertentu dinamakan syar'I.
FASAL III Tentang Proses
Pemaknaan suatu lafadz
Jika telah dipahami hal tersebut di atas itu maka
ketahuilah bahwa suatu lafadz itu wajib dimaknai terhadap kebakuan
si pembicara. Maka Lafadz yang datang dalam pembicaraanya nara sumber agama
harus dimaknai dengan makna syar'I, walaupun itu memiliki makna 'urfi atau lughowi, atau memiliki
makna keduanya karena sesungguhnya makna syar'I merupakan 'urf-nya syara. Lalu
bila itu tidak memiliki makna syar'I atau memiliki makna syar'I tapi ada
sesuatu yang dapat membelokan makna dari makna syar'I tersebut maka pemaknaanya
adalah makna urfi 'am.Kemudian jika tidak terdapat makna 'urfi 'am
atau terdapat makna 'urfi 'am tapi ada sesuatu yang
membelokan dari makna tersebut maka pemaknaanya adalah makna lughowi karena
pada keadaan demikian menjadi satu-satunya. Demikian pula dengan lafadz yang
datang dalam pembicaraannya para pemangku 'urf khos, maka sama dimaknai dengan
makna yang telah pada mereka kenal. Maka bila ada seorang ahli nahwu yang
berkata, umpamanya, "Fungsi fa'il harus di-rofa'-kan sedangkan
maf'ulnya harus di-nashab-kan" maka wajib pemaknaan
rofa', nashab, fa'il, dan maf'ul dengan makna-makna yang telah dikenal dalam
cabang ilmu nahwu, tidak yang lainnya.
FASAL IV Tentang Arti Kata
Sunnah dan Kata Jama'ah
Jika sudah tahu begitu maka ketahuilah bahwa
lafadz sunnahdiungkapkan untuk beberapa makna dari segi bahasanya.
Berkata Imam Muhammad Syaerozi (729-817 H) dalam
kitabnya Qamus Muhith wa Qobus Wasith, "Sunnah dengan
mendlommahkan (huruf sin) bermakna macam-macam, yaitu :
1. Wajah, bagian wajah sebelah atasnya, daerah sekitar wajah, bentuk, dahi,
atau dahi serta kedua alisnya.
2. Perjalanan (sejarah)
3. Tabi'at
4. Salah satu jenis kurma di Madinah
5. Dan kalau dari Allah, maknanya bisa : hukumnya, perintahnya, dan
larangannya."
Berkata Sayyid Murtadlo Zabidi (1205
H) dalam syarah kitab Ihya " Dan Sunnah adalah "jalan yang
ditempuh"." Kemudian dalam segi syara, kata sunnah
diungkapkan untuk beberapa makna juga, diantaranya :
1. perjalanan dan jalan yang ditempuh Nabi Besar SAW.
2. Suatu pekerjaan yang diberi pahala orang yang mengerjakannya, dan tidak
akan disiksa orang yang meninggalkannya.
Dan juga ketahuilah bahwa lafadz jama'ah diungkapkan
secara bahasa untuk makna setiap sesuatu perkumpulan tiga dan atau lebih. Suka
dikatakan jama'atun Naas (perkumpulan orang-orang), jama'atut
thoer (perkumpulan burung), jama'atud dhiba' (perkumpulan rusa), dan lain
sebagainya. Dan suka diungkapkan secara syara untuk beberapa makna, diantaranya
:
1. ikatan seseorang untuk sholatnya pada sholatnya orang lain dengan memakai
syarat-syarat tertentu.
2. Kumpulan kaum muslimin melalui seorang
pemimpin yang dilantik oleh Ahlulhal wal 'Aqdi (semacam dewan
perwakilan masyarakat, terdiri dari unsur Ulama dan Tokoh Masyarakat) dengan
syarat-syarat yang diakuai, seperti lafadz jama'ah dalam suatu hadits :
مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا
فَمَاتَ فَمِيْتَتُهُ مِيْتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ . رواه مسلم
Artinya : "Barangsiapa yang berpisah dengan
jama'ahnya sejengkal saja lalu dia itu mati maka
kematiannya adalah kematian bangsa jahiliyyah."
Hadits Riwayat Imam Muslim.
FASAL V Tentang kesimpulan dari Fasal-Fasal Yang Lalu
Jika sudah tahu begitu maka ketahuilah bahwa lafadz sunnah wal
jama'ah adalah lafadz 'urfi yang dibuat oleh keempat kelompok tadi,
yakni :
1. Muhadditsin
2. Shufiyyah
3. 'Asya'iroh
4. Maturidiyyah
sebagai penamaan bagi mereka sendiri karena aqidah
yang mereka yakini, yaitu bahwa mereka menganut Sunnah, yaitu perjalanan
Rosulillah Shollallohu 'alaihi wasallama dan perjalanan para
sahabatnya, para tabi'in, dan tabi'ittabi'in. Dan nama ini tetap lestari sampai
hari ini. Hal ini berlaku juga bagi dia yang menganut madzhab keempat kelompok
tersebut. Dan jadilah nama Ahlussunnah wal jama'ah menurut vonis 'urf
merupakan nama (proper noun) bagi keempat kelompok tadi. Artinya, jika
nama itu diungkapkan maka maksudnya tidak mengarah kecuali pada keempat
kelompok tadi, sebagaimana yang telah dahulu dikutip dari pensyarhil Ihya' (Sayyid
Murtadlo Zabidi) yaitu ucapannya : " Dimana-mana dilontarkan kata
Ahlussunnah wal jama'ah…(dan seterusnya)" . Dan beliau berkata pula dalam
permulaan Syarhil Risalah Qudsiyyah dari kitab Ihya, "
Sedangkan yang dimaksud dengan Ahlussunnah ialah yaitu Golongan Yang Empat itu
: Muhadditsin, Shufiyyah, 'Asya'iroh, dan Maturidiyyah " karenanya
jika sudah tahu begitu maka dapat diketahui bahwa tidak boleh kita
mengungkapkan kata Ahlussunnah wal jama'ah untuk selain Keempat Golongan Tadi.
MASALAH I
Jika dikatakan,: "Bolehkah dikatakan pada masa
kini bagi orang yang tidak taqlid kepada
Sebuah madzhab dari Madzhab Empat, serta dia menduga
bahwasanya dia itu seorang mujtahid, "bahwa dia itu Ahlussunnah wal
jama'ah" ?"
Saya jawab : "Tidak boleh !!"
Karena dia bukan dari kalangan ahli hadits, bukan dari
Shufiyyah, bukan dari 'Asya'iroh, dan bukan pula dari Maturidiyyah. Adapun
alasan mengapa dia tidak termasuk katagori Ahli hadits, tiada lain karena alas
an-alasan yang nanti akan dijelaskan. Sedangkan alas an mengapa dia tidak
termasuk katagori shufiyyah, maka (alasannya) sudah jelas, yaitu karena meraka
yang melemparkan Madzhab Empat itu sebagian dari terkerasnya orang yang
mengingkari Golongan Shufiyyah. Lalu alas an apa dia tidak termasuk golongan
'Asyairoh serta tidak pula Muturidiyyah. Alasannya adalah karena sesuatu alasan
yang terdahulu, yaitu bahwasanya Imam Abul Hasan 'Asy'ari berdiri tiada lain
dengan berpegang nash-nash madzhab Imam Syafi'i. Sementara Imam Abu Manshur
Maturidi berdiri tiada lain dengan berpegang nash-nash madzhab Imam Abi
Hanifah. Dan telah dijelaskan pula bahwa Golongan Madzhab Maliki semuanya
'Asya'iroh. Dan begitu pula para tokoh ulama dari madzhab Hanbali sama-sama
'Asya'iroh. Juga telah dahulu dijelaskan bahwa Para ulama ahli madzhab Empat
semuanya 'Asya'iroh dan Maturidiyyah kecuali memang orang yang terpengaruh
dengan faham tajsim (keyakinan bahwa Allah adalahjisim; benda,
yang mempunyai ukuran, besar atau kecil) dan faham mu'tajilah. Karenanya,
mestilah dari tidak adanya taqlid kepada salah satu madzhab empat berarti tidak
terbukti penganut faham 'Asy'ari atau faham Maturidi. Kemudian akhirnya
terbukti dari tidak termasuknya dalam salah satu madzhab empat maka pastilah
bukan dari Ahlussunnah wal jama'ah karena alasan tadi, yaitu bahwa Nama ini
merupakan nama khusus untuk Golongan Yang Empat itu di dalam 'urf.
MASALAH II
Jika ada yang berkata, :
"Kalian mengakui ahli hadits itu dari bagian
Ahlussunnah wal jama'ah. Sementara kami juga Adalah ahli hadits karena
sesungguhnya kami membuang Madzhab empat untuk kembalipada Al-Qur'an dan Hadits
Nabi. Nah bagaimana bisa kalian tidak mengakui kami termasuk Ahlussunnah
wal jama'ah ?"
Jawabannya : "Sesungguhnya
bahwa lafadz hadits atau muhaddits sebagian dari lafadz-lafadz yang
diishthilahkan oleh para ulama ahli hadits untuk makna yang khusus. Bentuk
isthilahnya adalah bahwa mareka telah membuat lafadz itu sebagai nama bagi
orang yang telah memenuhi syarat-syarat yang berlaku munurut mereka. Maka wajib
memaknai lafadz itu tatkala diungkapkan terhadap makna yang sudah pada dikenal
di kalangan mereka.
Karena itulah Imam Ibnu Subki (771 H) pernah berkata dalam
kitabnya Mu'idun Ni'am wa Mubidun Niqom :
المحدث من عرف الأسانيد
و العلل وأسماء الرجال والعالى والنازل وحفظ مع ذلك جملة مستكثرة من المتون وسمع
الكتب الستة ومسند أحمد وسنن البيهقى ومعجم الطبرنى وضم إلى هذا القدر ألف جزء من
الأجزاء الحديثية كان ذلك أقل درجاته فإذا سمع ما ذكرناه ودار على الشيوخ وكتب
الطباق وتكلم فى العلل والوفيات والأسانيد عد فى أول درجات المحدثين ثم يزيد الله
تعالى من شاء ماشاء اه
Berkata Imam Al-Hafidh Sakhowi (902 H) dalam al-Jawahir
wad Duror, "Yang terbatas hanya pada mendengarkan (hadits) tidak bisa
dinamakan muhaddit. Dan diriwayatkan dari Imam Malik bahwa
yang terbatas pada mendengarkan saja tidak boleh diambil ilmu darinya."
Dan oleh sebab itu anda akan tahu bahwa orang yang membuang Madzhab Empat
dan kemudian beralih pada hadits sedangkan dia belum memenuhi Syarat-syarat
yang tersebut di atas maka dia itu belum termasuk dari Ahli Hadits menurut
'urf. Maka belum pula termasuk Ahlussunnah wal jama'ah. Seorang insan tidak
akan menjadi ahli dalam sebuah bidang ilmu dengan hanya menggelutinya dan
menekuninya sehingga ilmunya sampai meliputi sebagian besar masalah-masalahnya
dan jadi menyatu dalam jiwanya. Ahli nahwu dengan hanya menggeluti dan
ketekunannya pada fiqh atau nahwu kecuali jika fiqh atau nahwunya telah menjadi
melekat pada jiwanya. Apalagi ini orang yang tak ada pengetahuan tentang hadits
kecuali namanya saja atau dia tidak mempuyai ilmu kecuali beberapa hadits yang
tersebar di dalam isi kitab-kitab yang memang bukan dari antara kitab-kitab
hadits atau berserakan pada lembaran-lembaran berbagai jilid kitab dan koras.
Maka tentu saja orang seperi itu samasekali tidak termasuk hitungan dari
kalangan ahli hadits.
MASALAH III
Jika dikatakan :
"Bagaimana bisa kalian memperhitungkan Kaum shufiyyah dari Ahlussunnah wal
jama'ah ? sedangkan telah dikatakan bahwa mereka itu mengambil ilmu dari Kaum
Budha India dan para ahli filsafat Yunani. Karenanya, mereka itu kalau tidak
termasuk kafir maka (minimal) fasiq, sebagaimana dalam kitab Akhlaq
lilghozali karangan DR. Zakky Mubarok Mesir, juga
seperti yang dikutip oleh Sayyid Zabidi (1205 H) dari Al-Maziri ( 536 H / 1142 M) dalam muqoddimah
Syarah Ihya."
Saya jawab : "Semoga terhindar dari hal seperti itu dan Janganlah
begitu ! Melainkan mereka itu orang-orang muslim pilihan dan sebagai
sosok-sosok muslim unggulan. Karena haqiqat dari Shufi itu adalah seorang alim
yang mengamalkan ilmunya dengan penuh keikhlasan. "
Berkata Ibnu Subki (771 H) dalam kitab Jam'ul Jawami' :
"Dan sesungguhnya ajaran Syekh Junaed (297 H) dan para sahabatnya
merupakan ajaran yang lurus." Dan berkata pula Syekh Jalaluddin
Mahalli (769-864 H) dalam Syarah Jam'ul jawami' : "Karena
sesungguhnya ajaranya itu luput dari bid'ah, beredar pada ketundukkan dan
kepasrahan (pada Allah SWT) dan terbebas dari hawa nafsu. Di antara pernyataan
dari Syekh Junaed (297 H) adalah : "Semua jalan menuju
Allah SWT itu tertutup terhadap semua makhluknya kecuali terhadap orang-orang
yang mengikuti jejak-jejak rosulullah Shollallahu 'alaihi wasallama.
Berkata Qutbul Aulia Abdul Wahhab Sya'roni (899-973 H)
dalam Muqoddimah Tobaqotus Shufiyyah, "Kemudian ketahuilah wahai
saudaraku rohimakalloh sesungguhnya ilmu tashowuf itu…
أَنَّ عِلْمَ
التَّصَوُّفِ عِبَارَةٌ عَنْ عِلْمِ انْقَدَحَ فِىْ قُلُوْبِ الْأَوْلِيَاءِ
حِيْنَ اسْتَنَارَتْ بِالْعَمَلِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ (مع الإخلاص)
…adalah sebutan bagi suatu ilmu yang terwadahi dalam hati para aulia
ketika menjadi terang benderang oleh pengamalannya pada Kitab Suci Al-Qur'an
dan Sunnah Rosul. Maka setiap yang bisa mengamalkan keduanya itu akan tampak
baginya dari pengamalan itu berbagai ilmu, adab-kesopanan, rahasiah-rahasiah
bathin, dan segala haqiqat sesuatu yang tak teruraikan dengan kata-kata, setara
dengan apa yang tampak pada para ulama pemangku Syari'at, yaitu hukum-hukum
(furu') tatkala mereka mengamalkan apa yang mereka telah ketahui dari
hukum-hukum syari'at itu.Maka Ajaran Tashowuf itu adalah merupakan intisari
dari pengamalannya seorang hamba pada hukum-hukum syari'at jika amalannya itu
telah terbebas dari berbagai macam penyakit bathin dan keinginan hawa nafsu.
Seperti halnya ilmuma'ani dan bayan merupakan
intisari dari ilmu nahwu. Lalu orang yang menjadikan ilmu tashowuf sebuah
cabang ilmu yang mandiri maka dia itu benar dan yang menjadikannya sebagai
intisari hokum-hukum syari'at maka dia juga benar. Tak berbeda halnya
dengan orang yang menjadikan ilmu ma'ani dan bayan sebuah
cabang ilmu yang mandiri maka dia itu benar dan yang menjadikannya sebagai
bagian dari ilmu nahwu dia juga benar. Namun masalahnya adalah tidak akan
terhirup dalam hati bahwa ajaran tashowuf itu merupakan intisari dari syari'at
kecuali oleh orang yang (melaut) luas dan dalam di dalam ilmu syari'atnya
sehingga dia dapat mencapai puncak tertinggi. Sementara telah ijma Kaum Ini
bahwa tidak patut untuk tampil dalam ajaran thoriqoh menuju Allah 'azza
wa jalla kecuali orang yang telah luas dan dalam ilmu
syari'atnya serta telah mengetahui semua makna syariat baik yang tersurat
maupun yang tersirat, baik yang khusus maupun yang umumnya, baik nasikh maupun
mansukhnya dan memiliki kemampuan yang luas dalam bahasa Arab sampai mengetahui
bermacam-macam bentuk majaz dan isti'arah dan sebagainya.
Karena itu maka setiap ahli tashowuf pastilah seorang faqih tapi tidak
sebaliknya."
Dan berkata Yang dipertuan dalam golongan ini yaitu Imam Junaed (297
H) Rodliallohu 'anhu : "Madzhab kita ini
terikat pada dasar-dasar Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunah" Juga beliau
katakan : "Barangsiapa yang belum sempat hapal Al-qur'an dan belum menulis
hadits maka dia itu tidak berhak diikuti di dalam urusan ini,
karena sesungguhnya ilmu pengetahuan kami ini terikat pada Kitab dan
Sunnah."
Dan Berkata Qutb Abdul Wahhab Sya'roni (899-973 H), "Ternyata Syekh
'Izzuddin bin Abdis Salam Rodliallohu 'anhu(577-660 H) selalu
mengatakan setelah ikut bergabung dalam ajaran Syekh Abil Hasan
Syadzili Qoddasallohu sirrohu (Lahir : 593 H./1197 M, wafat :
Dzulqo'dah, 656 H./1258 M) dan setelah ikut memberi pengakuan bagi Kaum
(Shufi) ini, "di antara dalil terkuat yang menunjukan bahwa Golongan
Syufiyyah berada pada asas agama yang terkokoh adalah apa yang suka terjadi
pada mereka yaitu Karomahnya dan kejadian-kejadian luar biasanya. Dan tidak
akan terjadi apapun dari yang demikian itu bagi seorang faqih kecuali kalau dia
itu telah menempuh ajarannya Kaum Shufi, sebagaimana hal itu telah jelas
terbukti."
Beliau menambahkan : " Dan konon Syekh 'Izzuddin
bin Abdis Salam Rodliallohu 'anhu sebelumnya bersikap
menentang terhadap Kaum Shufi ini. Beliau suka mengkritik, "Adakah bagi
kita thoriqoh lain selain thoriqohnya Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunah
Nabi." Kemudian tatkala beliau merasakan suka dukanya dunia shufi dan
dapat memutuskan rantai besi hanya dengan sehelai daun maka beliau memuji-muji
Kaum Sufiyyah ini setinggi-tingginya."
Itulah merupakan hal inti dalam ajaran tashowuf dan tentang kehidupan
orang-orang jujur dari kalangan Sufiyyah. Adapun orang yang mengaku-ngaku bahwa
dirinya menempuh ajaran Shufisedangkan dia itu bukan dari golongan shufiyyah
maka tidak perlu lagi ada perbincangan .... ....tentangnya, karena
sesungguhnya mereka itu mengaku bertashowuf namun tidak memenuhi
syarat-syaratnya. Sementara yang namanya syarat itu adalah timbulnya
ketidak-beradaan sesuatu dari ketidak-adaannya. Oleh sebab itu, maka
barangsiapa yang menghakimi seluruh Kaum shufiyyah dengan kreteria hokum mereka
yang mengaku Shufi namun nyatanya hanyalah para pembohong maka dia sungguh
telah berbuat kesalahan besar, karena dia telah menghakimi suatu perkara dengan
kreteria hokum untuk perkara lain. Orang itu tak bedanya seperti orang melihat
potret kuda lalu dia katakan "Inilah kuda dan setiap kuda suka meringkik
jadi ini suka meringkik" sembari menunjuki potret tersebut. Seperti itulah
(yang dalam fan mantiq) dinamakan dalilsafsathoh, yang sering digunakan
oleh para penentang untuk mengecoh dan menarik hati orang-orang awam yang
berpikiran dangkal dan sempit. Para penentang itu adalah orang yang selalu
bersikap berlebihan, melampaui batas. Bahkan orang yang menghukumi bahwa para
pengaku shufi itulah yang termasuk Golongan Shufiyyah dengan pengertian umum
itu telah berbuat kesalahan juga, karena telah menghakimi hal global dengan
hukum parsial. Seperti halnya seorang hakim yang melihat buaya yang sedang
menggerakan rahang atasnya lalu dia katakan, "Ini adalah seekor hewan,
berarti setiap hewan dapat menggerakan rahangnya yang atas." Tak keliru
lagi bagi orang yang berakal , sebagai pusaka terendah sekalipun, akan payahnya
pernyataan tersebut. Berarti orang yang melihat seorang manusia gila lalu dia
katakan, "sesungguhnya dia ini gila, tetapi dia seorang manusia, berarti
setiap manusia itu bisa gila." Kalau demikian tak disangsikan lagi bahwa
orang itulah yang gila.
Inilah kiranya kadar yang cukup sebagai jawaban bagi orang yang dilindungi
taufiqnya. Akan tetapi lain halnya dengan orang yang terbiarkan (sesat) yang
tidak mendapatkan manfa'at apapun dari proses kebenaran ini. Dia malah berkata
bahwa proses ini hanyalah untuk memperindah dan penghias semata.
MASALAH IV
Jika ditanyakan :
"Apa yang anda katakan tentang mereka yang menyingkirkan Madzhab Empat di
masa kini kemudian mereka duga bahwasanya mereka pun para mujtahid mutlak dalam
masalah agama dan juga menduga sesungguhnya mereka berpegang teguh tiada lain
hanyalah pada Al-Qur'an dan Hadits-hadits Nabi ?"
Saya jawab : Sesungguhnya mereka itu suatu kaum yang penuh kebingungan
tentang urusan
agamanya. (Anda lihat) begitu kacau-balaunya pendapat-pendapatnya. Jalannya
terombang-ambing tak menetap pada satu pijakan…
" تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَقُلُوْبُهُمْ
شَتَّى
" Kamu sangka mereka itu bersatu padahal hatinya berbeda-beda "
Mereka mengaku-ngaku ijtihad sementara mereka bukan dari
jajaran ahli ijtihad. Mereka mengingkari taqlid sementara mereka
terbelenggu dengan belenggu taqlid. Mereka tidak mau bertaqlid kepada Imam-imam
mujtahid terdahulu tetapi mereka bertaqlid kepada pemuka-pemukanya yang
tersesat. Mereka mengharamkan taqlid sedang mereka sendiri para pentaqlid.
Mereka mewajibkan ijtihad sedangkan mereka sendiri tidak mempunyai kemampuan
untuk ijtihad. Adalah sebuah kaum yang dipermainkan hawa-nafsunya sendiri,
tercerai-berei oleh 'aqidah-'aqidahnya, dan dikuasai oleh
keinginan-keinginannya sendiri dan diliputi oleh kegelapan syubhah-syubhah (pernyataan-pernyataan
yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya). Sampai-sampai mereka
berkeyakinan bahwa terikat kepada salah-satu Madzhab Empat itu merupakan
penghalang antara mereka dan keinginan hasratnya dan sebagai tirai penghalang
untuk mencapai hawa nafsunya sendiri. Nah tatkala mereka mempunyai pemikiran
seperti itu maka ditinggalkanlah Madzhab-madzhab itu secara total sebagai
sikapnya untuk meraih cita-citanya yang rendah itu. Lalu mereka berpegang
kepada sesuatu yang tak ada kemampuan dan kekuatan untuk melakukannya, yaitu
ijtihad tadi. Mereka di ujung yang satu sementara dunia ijtihad di ujung yang
satunya lagi. Memang betul ! Mereka itu para mujtahid dalam hal melepas ikatan
tali taqlif , supaya dapat mecapai apa yang mereka inginkan.
Bukankah mereka suka mengatakan, "Kami ini adalah orang-orang yang merdeka
akal dan pikirannya. Kami akan dapat mencapai puncak kesempurnaan ilmu dan
kekuatan berpikir." Betul ! Sesungguhnya Mereka adalah orang-orang
yang merdeka akalnya, tapi dalam hal mengikuti syahwat dan memenuhi kebutuhan,
yang memang yang dapat mengantarkannya pada penghalalan sebagian perbuatan
haram, meninggalkan sebagian kewajiban dan pengharaman sebagaian perbuatan
sunat. Dengan demikian mereka terlepas bebas dalam kubangan syahwat seperti halnya
binatang-binatang, yang terlepas bebas dalam semak-semak belukar. Kalau mereka
itu tidak cukup laik dinamai Ibahiyyin (faham menghalalkan
segala cara untuk mencapai suatu tujuan)1) maka yang
paling pantas mereka itu kalau dinamai Hasyawiyyin.
Berkata Imam Taqiyyudin Subki (685-756 H) :
"Adapun Kaum Hasyawiyyah itu adalah golongan sempalan yang
membangsakan dirinya kepada Imam Ahmad (164-241 H)Rodliallahu 'anhu .
Padahal Imam Ahmad sendiri terbebaskan dari mereka. Yang menjadi sebab
penisbatan mereka pada beliau adalah bahwa Beliau Rodliallahu 'anhu senantiasa
tegak (membela faham ahlussunnah wal jama'ah)di dalam menolak faham mu'tajilah
dan tetap tegar dalam kesengsaraan dan kepedihan (yang dialaminya). Dari Beliau
dikutip beberapa pernyataan yang oleh orang-orang bodoh itu (Kaum Hasyawiyyah)
tidak dapat dipahaminya. Lalu mereka meyakinkan I'tiqod yang buruk ini kemudian
jadilah yang terakhir dari mereka itu megikuti pendahulunya, kecuali
orang-orang yang terpelihara oleh Allah SWT. Mereka tak henti-hentinya sejak
kemunculannya itu sebagai kaum rendahan yang tidak memiliki seorang pemimpin,
dan tidak pula orang yang pandai ber-munadhoroh (berargumen untuk
mempertanggungjawabkan pendapatnya). Di setiap waktu hanyalah koaran-koaran
suara tak berarti yang dimilikinya. Mereka hanyalah menggantung hidupnya pada
sebagian penguasa-penguasa pinggiran. Tetapi Allah senantiasa mengekang
keburukannya itu. Dan tidak semata-mata mereka ketergantungan pada seseorang
kecuali mendatangkan kejelekan baginya. Mereka berbuat kerusakan terhadap
tatanan itiqodnya jema'ah-jema'ah arus kecil dari Golongan Syafiiyyah dan ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------1) berkata Hadlrotus
Syekh Hasyim 'Asy'aridalam Risalah Ahlussunnah Wal Jama'ah :
" Dan di antara mereka adalah Golongan Ibahiyyun, yang mengatakan bahwa
seorang hamba jika telah sampai pada puncak mahabbah, telah jernih
hatinya dari kelalaian dan telah memilih iman daripada kufur dan kekufuran maka
menjadi gugurlah darinya tugas amar ma'ruf nahyi mungkardan Allah
tidak akan memasukannya ke dalam neraka akibat melakukan dosa-dosa besarnya.
Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa dia telah gugur darinya
kewajiban-kewajiban ibadah dhohir. Dan kini ibadahnya hanyalah tafakur dan
memperbaiki akhlak-akhlak bathin.
yang lainnya, terutama sebagian muhadditsin (mungkin
maksud beliau para pelajar hadits) yang kurang kecerdasannya atau yangdikuasai
oleh orang telah menyesatkannya. Lalu jema'ah-jema'ah ini ikut-ikutan
meyakinkan bahwa Mereka itu berqaol-ria berdasarkan hadits.
Dan sesungguhnya Konon seorang tokoh muhadditsin yang
paling utama di zamannya di Damaskus, yaitu Imam Ibnu Asakir (499-576
H), tidak mau mengajarinya mereka hadits dan tidak membolehkan mereka hadir
di majlis-tahditsnya. Hal itu terjadi pada masa kesultanan Nuruddin
Syahid (Sulthan Mahmud bin Zakka, wafat pada bulan Syawal tahun 569
H. Beliau merupakanpendahulu dari sulthan Shalah ad-Din Yusuf
al-Ayyubi (w. Shofar 589 H)). Dan nyatalah mereka itu merupakan
orang-orang rendahan serendah-rendahnya. Kemudian di penghujung abad ke-7
muncul …..
رجل له فضل ذكاء (يعنى ابن تيمية) ولم يجد
شيخا يهديه
seseorang yang memiliki keunggulan berpikir (yakni Ibnu Taemiyyah,
661-728 H) tapi tidak mendapatkan guru yang mengarahkannya. Dia penganut
madzhab Kaum Hasyawiyyah, sekaligus sebagai orang pemberani nan intens untuk
meyudisfikasi madzhabnya. Dan dia mendapatkan temuan-temuan yang
keluar jauh sekali (dari rel kebenaran). Lalu dengan beraninya dia mewajibkan
sendiri menggunakan temuan-temuannya itu. Lalu demikian dia mulai menyampaikan
pendapat (yang aneh-aneh), diantaranya :
1. Tegaknya sifat-sifat makhluk pada Dzat Tuhan Subhanahu wa ta'ala
2. Bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta'ala tidak
henti-hentinya yang mengerjakan (fa'il)
3. Tasalsul (keadaan berantai pada makhluk sehingga tidak ada berujung dan
berkesudahan) bukan suatu hal yang mustahil pada kejadian yang lampau, seperti
halnya pada kejadian yang akan datang juga.
Dengan demikian Dia telah memutuskan tongkat (perjuangan agama; Jama'ah
Islam), telah merecoki sendi-sendi aqidah kaum muslimin, dan menanam bibit
(permusuhan) di antara mereka. Sikapnya itu tidak hanya terbatas pada urusan
aqidah dalam ilmu kalam tapi juga melebar jauh dari itu (sampai pada
urusan furu', diantaranya seperti ) Dia mengatakan :
1. bahwasarnya perjalanan jiarah ke Nabi Besar sollallohu 'alaihi
wasallam merupakan pekerjaan maksiat.
2. Bahwasanya melakukan talaq tiga itu tidak jatuh talaq.
3. Bahwasanya orang yang bersumpah akan mentalaq istrinya dan kemudian terkena
(tebusan) sumpahnya maka tidak jatuh talaq.
Para ulama sefakat untuk memenjarakannya dengan masa penjara yang lama.
Untuk itu, Sang Sulthan, Raja Muhammad ibnu Qowalun (w. 741 H) memenjarakannya
dan melarangnya untuk membuat karya tulis selama dipenjara dan juga membawa
tinta masuk penjara (peristiwa itu terjadi tahun 722 H). kemudian tak lama
setelah itu muncul orang yang menyebar luaskan faham-fahamnya serta mengajarkan
masalah-masalah furu' (pendapatnya) dengan menanamkan ke
orang-orang secara diam-diam dan menyembunyikannya secara terang-terangan, maka
dengan demikian menjadi merebak luaslah hal-hal yang membahayakan (agama).
Sampai didapati oleh saya di zaman ini sebuah rangkaianqoshidah yang
bait-baitnya mencapai sekitar 6000 bait. Padanya diceritakan faham-faham ibnu
Taemiyyah dan faham-faham orang lainnya. Qoshidah tersebut
adalah qoshidahnya Ibnu Zafil, seorang laki-laki dari
kalangan Madzhab Hanbali. Dia membantah, di dalamnya, faham Imam 'Asy'ari dan
yang lainnya dari jajaran Imam-imam sunnah dan menjadikannya Kaum
Zahmiyyah suatu kali dan orang-orang kafir pada kala yang lain. Ibnu
Zafil menyangka dengan kebodohannya bahwa faham Ibnu Taemiyyah itu adalah
fahamnya Ahli Hadits.
Lalu saya
dapatkan Qoshidah ini adalah merupakan karangan tentang ilmu
kalam yang para ulama melarang mendalaminya, kalau saja itu merupakan sesuatu
yang haq, dan tentang penetapan faham-faham bathil yang dengannya dapat
mengugguli orang dan ada lagi unsur tambahan lainnya dari kedua unsur tadi,
yaitu dapat menjerumuskan masyarakat awam pada sikap mengkafirkan orang selain
dirinya dan selain golongannya. Maka dengan demikian ini adalah tiga materi
yang ketiganya itu merupakan himpunan dari isi yang terkandung dalam Qoshidah
ini.
Yang pertama dari tiga materi
itu adalah haram hukumnya, karena larangan dari ilmu kalam
kalau bentuknya saja sudah larangan tanzih tentang
masalah yang kebutuhan menuntut kita membantah ahli bid'ah di dalamnya maka
tentu larangan itu menjadi larangan tahrim tentang masalah
yang kebutuhan tidak menuntut kita pada hal tersebut. Maka bagaimana tidak
kalaulah tentang masalah yang merupakan hal yang bathil ?!
Yang kedua, para ulama berbeda pendapat di dalam mengkafirkannya dan isi qosihidah
itu memang belum sampai pada tingkat ini. Adapan kalau dilakukan dengan sangat
berlebihan maka di dalam status ikhtilaf-nya ini harus
dipertimbangkan lagi.
Adapun Yang ketiga maka kita tahu dengan pasti bahwa
ketiga golongan itu – Syafiyyah, Malikiyyah, dan hanafiyyah –
serta orang-orang bersetuju dengan mereka itu adalah orang-orang muslim dan
bukan orang-orang kafir. Dengan demikian maka pendapat yang menyatakan bahwa
semuanya kafir dan menjerumuskan masyarakat kedalam pendapat itu adalah
bagaimana tidak menjadi kufur ?! Sementara rosullloh sollallohu 'alaihi
wasallam pernah bersabda :
" إِذَا قَالَ الْمُسْلِمُ لِأَخِيْهِ يَا
كَافِرُ فَقَـدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا " jika berkata
seorang muslim kepada saudaranya " wahai kafir !" maka berarti
salah seorangnya berbalik menjadi kafir."
Kenyataannya mengharuskan bahwa sebagian yang dia kafirkan itu adalah
muslim. Sementara hadits menetapkan bahwa halnya ada salah seorang yang kembali
menjadi kafir. Berarti Yang mengucapkanlah dia yang telah kembali menjadi
kafir." Demikianlah sudah apa yang Imam Taqiy Subki katakan dengan panjang
lebar, yang konon telah dikutip darinya oleh pensyarah kitab Ihya, Sayyid
Murtadlo Zabidi.
Dan Tak henti-hentinya Madzhab Ibnu Taemiyyah dianut dan diakui masyarakat
dan mereka menambahkannya perkara lain. Dan tak henti-hentinya pula seiring
dengan meliwatnya masa dan bergantinya tahun terus bertambah dan bertambah
banyak pengikut dan semakin meluas sehingga muncullah di pertengahan abad ke-12
dari wilayah Najd, Hijaz seorang lelaki yang suka dipanggil Abdul Wahab (1111-1207
H), yang kepadanyalah dinisbatkan Golongan Wahabiyyah. Konon dia
penganut madzhab Ibnu Taemiyyah. Dan dia telah menambahkannya beberapa
pemikiran bathil, yang kesemuanya ada 10, seperti halnya yang dituturkan oleh
Jamil Afandi Sidqi Zahawi dalam risalahnya, Fajar Shodiq, :
1. Menetapkan wajah, tangan, dan arah bagi Dzat Allah Sang Pencipta Subhanahu
wa ta'ala dan menjadikannya jisim; benda yang suka bergerak turun dan
naik.
2. Mendahulukan dalil naql dari pada akal serta tidak adanya rujukan terhadap
akal di dalam urusan-urusan keagamaan, yakni keyakinan-aqidah.
3. Menafikan ijma para ulama dan mengingkarinya.
4. Menafikan dalil qiyas.
5. Tidak bolehnya taqlid kepada para mujtahid dari Imam-imam agama serta mengkafirkan
orang yang menaqlidinya.
6. Mengkafirkan mereka yang dia anggap beda haluan dengan mereka dari kalangan
kaum muslimin.
7. Melarang bertawasul kepada Allah SWT baik denganKangjeng Rosul sollallohu
'alaihi wasallam ataupun dengan yang lainnya dari para nabi, auliya,
dan orang-orang soleh lainnya.
8. Mengharamkan ziarah quburnya para nabi dan orang-orang soleh.
9. Mengkafirkan orang yang bersumpah dengan nama selain Allah dan
menghitungkannya sebagai orang musyrik.
10. Mengkafirkan orang yang bernadzar karena selain Allah atau orang yang
menyembelih hewan di maqom para nabi.
Dan Muhammad ini mendapat bantuan untuk mengibarkan akidahnya yang
menyimpang itu dari Muhammad ibnu Su'ud, pemimpin negri Dzuro'iyyah
(negrinya Musaelimah al-Kadzdzab dulu). Selanjutnya pada dialah para raja
Su'udiyyah berikutnya dinisbatkan. Kemudian tak henti-hentinya muncul
segelintir kelompok orang yang membantu perkembangan Madzhabnya itu dan
menyerukan kepada masyarakat untuk mengikuti madzhabnya ini dan selalu saja
memberikan penambahan-penambahan pemikiran baru yang mana memang menyalahi
Madzhabnya Ahlussunnah wal jama'ah sehingga berhamburanlah kejelekan yang
ditimbulkan madzhab ini ke kepulauan Nusantara, Indonesia sampai akhirnya terus
tersebar di Negri ini.
Dan tak henti-hentinya para pengikut madzhab ini menentang para Ulama
al-Kirom dan selalu berusaha menarik simpati rakyat jelata dengan kata-kata
yang mempesona serta menanamkan kecintaan terhadap orang-orang bodoh. Sementara
kaum tradisional dan para ulama dikecam dan dilecehkan oleh mereka itu dengan
penuh kebencian dan cacimaki. Mereka tak henti-hentinya melakukan hal itu
dipedesaan dan kota-kota sehingga terjadi maraknya bahaya dan keruksakan
(aqidah dan tatanan keagamaan)…
" وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَالَهُ مِنْ هَادٍ " Dan barangsiapa yang akan disesatkan oleh Allah
maka tiada Baginya yang akan memberi petunjuk."
Dan cukuplah kiranya pembahasan ini, Allahlah Sang PengaturTaufiq dan hidayah.
Risalah ini selesai, dengan pertolongan Dzat Yang Maha Penyendiri Keagungannya,
pada hari Senin Yang diberkahi tanggal 11 Jumadil Tsaniyyah tahun 1381 dari
Hijrah Nabi 'ala shohibiha afdlolus Sholaati wassalaam. Semoga
Allah SWT memberi pengampunan kepada penyusun, kepada ibu-bapaknya serta ke
seluruh kaum muslimin. Amiin !
3 komentar
Click here for komentarthank..
Balassae
BalasIzin saya manfaatkan ya ustad 🙏
BalasShow Conversion Code Hide Conversion Code Show Emoticon Hide Emoticon